miti bar

Showing posts with label artikel. Show all posts
Showing posts with label artikel. Show all posts

Saturday, May 15, 2010

Ilmu Komputer dan Islam?

Dulu, di awal kuliah di Fakultas Ilmu Komputer UI, saya sering bertanya-tanya. Bagian mana dari ilmu yang saya pelajari ini, yang bisa membuat saya mengingat Allah? Jika dibandingkan dengan ilmu lain, saya agak-agak sulit melihat secara langsung. Bandingkan saja dengan Biologi atau Kedokteran misalnya. Ketika mereka mempelajari tentang tahapan perkembangan janin dalam rahim, mereka bisa langsung teringat ayat-ayat di surat Al-Mu'minun atau Az-Zumar yang menjelaskan tahapan tersebut. Seketika mereka pun merasakan kebesaran dan kebenaran Allah. Begitu juga dengan anak astronomi, yang mempelajari benda-benda langit dengan orbit-orbitnya. Seketika mereka pun tersadarkan bahwa Maha Besar Allah yang menciptakan semua ini, menciptakan keteraturan dalam lintasan bintang-bintang: "Demi langit yang memiliki jalan-jalan" (Adz-Dzaariyat:7). Lalu, bagaimana dengan ilmu komputer? Apa yang dapat membuat saya menjadi ingat dan semakin dekat padaNya?

Setelah menyelami samudera ilmu komputer sekian lamanya, perlahan saya menemukannya. Waktu pertama belajar programming, saya sungguh kelimpungan. Begitu sulit membuat program yang bisa melakukan tugas tertentu. Bayangkan saja, anggaplah komputer itu bodoh, dan kitalah yang harus mendefinisikan semuanya: program tersebut harus membaca apa, inputnya disimpan dalam bentuk/tipe data apa, bagaimana mengolahnya, outputnya seperti apa, dan sebagainya. Di awal itu sulit sekali membuat program yang sekedar bisa mengkonversi suhu celcius ke fahrenheit dan sebaliknya. Sementara kita mungkin hanya perlu rumus dan sedikit corat-coret. Membuat program itu perlu didefinisikan setelah ini dia harus melakukan apa, jika begini maka langkah selanjutnya apa, berapa kali langkah ini dilakukan, dan sebagainya. Lalu, ketika saya shalat maghrib, dengan mudahnya saya bisa berhenti saat raka'at mencapai tiga. Saya tau kapan harus membaca tahiyat, tau kapan harus salam. Jika direnungkan, ternyata ciptaan Allah bernama manusia itu luar biasa sekali. Dengan akal pikirannya, begitu mudahnya manusia melakukan segala macam hal.

Suatu hari saya mendapat kesempatan mengikuti kuliah umum profesor-profesor Jepang. Bidang keahlian mereka adalah Robotika. Dalam kuliah tersebut sang profesor mempresentasikan hasil riset robotikanya. Yang paling menarik menurut saya adalah riset mengenai Robotics Tactile Sensors. Profesor tersebut meneliti dan mengembangkan sensor sentuhan pada robot. Melalui video, beliau memperlihatkan hasil karyanya. Bayangkan, perlu riset bertahun-tahun untuk membuat "tangan" robot yang bisa membuka tutup botol! Permukaan "tangan" robot dibuat dengan tekstur tertentu yang membuatnya bisa "merasakan" tekstur benda yang dipegangnya. Sensor robot tersebut mengapit kedua tepi tutup botol, kemudian memutarnya untuk melonggarkan tutupannya. Sekali lagi, sungguh luar biasa akal pikiran manusia yang bisa mempelajari cara membuka tutup botol dan bahkan hal yang lebih rumit dari itu dalam waktu yang sangat singkat! Subhanallah..

Pelajaran-pelajaran dalam Ilmu Komputer, selain bisa mengingatkan kita akan kebesaran Allah, ternyata juga sangat banyak aplikasinya yang memudahkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi ini. Misalnya Komputasi Grid, yang menurut Prof Heru Suhartanto (Dosen Fasilkom UI) bertujuan melakukan penghitungan berskala besar secara cepat dan efisien. Salah satu aplikasinya adalah untuk menghitung konsentrasi polutan. Kita mengetahui dampak buruk polusi, tetapi mengapa kita tidak menghentikannya? Mungkin jawabannya karena kita berpikir polusinya hanya sedikit. Jika kita buka QS Al-Baqarah: 11-12 kita akan temukan ayat ini, "(11) Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi!" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan". (12) Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari." Dengan Komputasi Grid, kita dapat menghitung berapa tingkat kerusakan yang terjadi sehingga kerusakan yang parah dapat dihindari. Komputasi Grid juga bisa digunakan untuk mencegah bencana yang lebih besar seperti memperkirakan terjadinya gempa karena gerakan lempeng bumi. Bila lempeng bumi di utara bergeser sedikit saja, bisa jadi akan menghasilkan gempa luar biasa di selatan, di kemudian hari (butterfly effect). Jika dicari, akan sangat banyak aplikasi ilmu komputer yang bisa membantu tugas manusia, di antaranya termasuk dalam bidang Bioinformatics, Perolehan Informasi, Pemrosesan Bahasa Natural, Pengolahan Citra, Sistem Cerdas, E-Commerce, E-Learning, E-Governance, dan lain sebagainya.

Teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia bisa membawa manfaat, bisa juga merugikan. Di kuliah Komputer dan Masyarakat, sering sekali didiskusikan masalah-masalah yang terjadi sehubungan dengan IT, seperti pornografi, pencurian data kartu kredit, kemudahan mencari informasi lewat search engine, dan lain sebagainya. Sering pula didebatkan apa akar masalahnya? Dan apa solusinya? Sering sekali diungkapkan bahwa sudah ada peraturan, sudah ada etika di dunia maya. Tapi ternyata masih juga ada pelanggaran. Jadi manakah yang lebih penting? Peraturan atau pengguna yang bertanggung jawab? Betapa manusia kerepotan untuk menentukan mana yang baik, mana yang benar. Meskipun ada etika dan peraturan, tetap saja ada orang aneh yang menganggap bahwa cracking software itu etis, misalnya. Jika ingin menjadi pengguna yang bertanggung jawab pun bertanya lagi, tanggung jawab terhadap apa dan peraturan yang mana? Semua serba relatif karena yang menurut seseorang salah, bisa jadi menurut orang lain benar. Dalam situasi seperti ini saya bersyukur menjadi orang Islam yang memiliki aturan menyeluruh. Bagaimana akhlaq islam juga dapat diterapkan dalam dunia maya, dan dengan berpegang pada aturan Islam tersebut, segala macam bentuk keanehan laku manusia di dunia maya dapat ditekan.

Sangat luas sebenarnya hubungan Ilmu Komputer dengan Islam, dan akan sangat panjang jika dibahas semua. Pada intinya, dengan Ilmu Komputer kita tetap bisa mentadaburi kebesaran Allah, sekaligus mengembangkan ilmunya untuk kemaslahatan umat manusia, dan dengan Islam kita dipastikan memiliki pedoman untuk menggunakan aplikasi Ilmu Komputer itu secara bertanggung jawab.

h_ning
(terima kasih untuk Agung Firmansyah atas masukkanya)
READ MORE - Ilmu Komputer dan Islam?

Monday, May 03, 2010

Konsep Manusia Ekonomi: Perspektif Konvensional vs Syariah

(Kali ini penulis akan membandingkan sudut pandang psikologis-konsep manusia ekononomi, menurut ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami, berdasarkan buku The Future of Economics: An Islamic Perspective oleh Umer Chapra)

Ketika wahyu dianggap tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan “benar vs salah”; “disukai vs tak disukai”; “adil vs tidak adil”; maka sebagai konsekuensinya (ekonomi konvensional) keudian HARUS mencari cara-cara lain untuk menentukannya (sebagai alternative-nya). Pendekatan “utilitarianisme hedonis ” adalah salah satu yang dianjurkan sebagai alternative tersebut. Ketika alternative ini dipakai, maka kemudian benar dan salah akan ditentukan atas dasar penghitungan kriteria “kesenangan” (sebagai kebenaran) dan “kesusahan” (sebagai kesalahan). Pendekatan ini akan membuka jalan pada pengenalan filsafat –filsafat, yakni sosial Darwinisme, Materialisme dan Determinisme. Pertanyannya, adakah yang salah dengan hal ini? *

Filsafat sosial Darwinisme adalah kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip kelangsungan hidup bagi yang lebih baik dan seleksi alam Darwinisme kepada tatanan masyarakat. Penerapan filsafat tersebut “dengan kurang hati-hati” sebenarnya akan membawa kecenderungan pada pen-sah-an konsep “kekuatan adalah kebenaran” secara terselubung dalam tatanan hubungan kemanusiaan. Sehingga hal ini membawa implikasi bahwa kaum miskin dan tertindas adalah pihak yang salah dan patut disalahkan, karena kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa diri mereka sendiri (adalah karena mereka kesalahan sendiri sehingga tidak punya daya saing oleh karenaya patut dengan sendirinya untuk terkalahkan dalam seleksi alam). Lebih jauh lagi, kaum miskin seharusnya tidak dibantu, karena jika dibantu, hal ini adalah tindakan melawan mekanisme seleksi alam Darwinisme itu sendiri dan memperlambat proses evolusi socsal masyarakat. Konsep inilah yang kemudian membuat kaum kaya dan penguasa lebih bisa “menenangkan” suara hati nurani mereka dan merasa “tidak bersalah” dari tanggung jawab sosial dan moral untuk menghilangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam sistem yang ada. Singkatnya, biarkan saja kaum miskin tambah miskin dan makin tertinggal, atau bahkan mati sekalipun; dan sama sekali jangan dibantu; karena seperti inilah alam ini bekerja, yakni mempertahanan hidup bagi mereka yang lebih kuat atau terkuat saja (dalam asumsi Darwinisme mereka). KAPITALISME *

Filsafat Materialisme cenderung untuk meningkatkan kekayaan, kesenangan dan semua kenikmatan fisik (lahiriah) sebagai tujuan dari usaha manusia. Hal inilah yang menjadi dasar budaya konsumerisme pada zaman ini, yang cenderung selalu meningkatkan cara konsumsi masyarakat dan menggandakan tingkat “kerakusan” masyarakat untuk mengkonsumsi di atas kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dengan merujuk kepada etos budaya di atas, proporsi ilmu ekonomi konvensional yang tidak controversial adalah bahwa jumlah besar yang beraneka ragam tentu lebih baik daripada kekurangan, dan hal ini akan meningkatkan produksi, memperbanyak harta kekayaan, dan meningkatkankonsumsi barang-barang kebutuhan pokok. Menjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila masyarakat harus mengorbankan tujuan-tujuan materi mereka demi mengurangi biaya-biaya non-ekonomi (seperti kegiatan amal sosial, pelestarian lingkungan, dsb) demi produksi dan konsumsi yang lebih besar dan selanjutnya me-realisasi-kan keadilan dan keharmonisan social dan masyarakat. EKSPLOITASI *

Filsafat Determinisme membawa implikasi bahwa manusia memiliki kontrol yang lemah terhadap pola tingkah laku mereka. Malahan, tindakan-tindakan yang dilakukan manusia dianggap sebagai mekanis dan respon atas otomatis terhadap rangsangan eksternal sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan hewan (Watson dan Skinner), mental bawah sadar manusia menunjukkan jauh di atas kontrol individu secara sadar (Freud) atau konflik social ekonomi (Marx). Jadi, filsafat determinisme tidak hanaya meniadakan perbedaan dan keruwetan dalam diri manusia saja, tetapi sedikit membawa kepada filsafat social Darwinisme guna “menolak” tanggung jawab moral dalam tingkah laku manusia. Saat mana suasana yang dikontrol oleh kebiasaan-kebiasaan setiap setiap individu jauh di atas kemampuan kontrol mereka, maka orang-orang kaya dan penguasa tak dapat dipersalahkan atas “hal-hal” yang menimpa kaum miskin dan orang-orang yang tertindas. INDIVIDUALIS *
 
Terlihat bahwa semua pendekatan “yang dianggap (oleh pendukungnya sebagai) ilmiah dan rasional” di atas sama sekali menurunkan moral dan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan sangat kontras dengan pandangan hidup yang religious, yang menganggap bahwa manusia bertanggungjawab pada setiap tindakan mereka dan selanjutnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Dan, sifat dari ekonomi Islami itu sendiri yang bertujuan pada perlindungan pada al maqasidus syariah.*

Dalam bahasa penulis sendiri, maka Ekonomi konvensional secara dasar filsafatnya, tampak sekali begitu mengutamakan kehidupan yang sangat “individualis”. Pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentigan masyarakat yang lebih besar adalah sebuah kesalahan mutlak, karena bertentangan dengan seleksi alam Darwinisme maupun dua filsafat yang berikutnya di atas. Sebaliknya, ekonomi Islami, dibentuk atas dasar wahyu dan religious. Manusia dengan pemahaman ekonomi Islami akan seimbang dalam memenuhi kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Dalam ekonomi Islami, persaingan dalam kebaikan begitu didukung, karena dengan demikian akan terjadi perbaikan yang berkesinambungan dalam masyarakat. Namun demikian, pengorbanan juga bernilai positif, karena dalam setiap harta yang dimiliki ada hak orang lain yang harus ditunaikan.

Meskipun persaingan, yang juga diperbolehkan dalam ekonomi Islami, ada di ekonomi konvensional. Namun nilai pengorbanan yang menjadi tujuan kemanusiaan, yang juga ada dan menjadi sebuah nilai kebaikan dalam ekonomi Islami, sama sekali tidak ada bahkan tidak menjadi tujuan bagi ekonomi konvensional. Di sinilah letak kelebihan ekonmi Islami dari sisi keseimbangan antara individu dan sosial.

Pemahaman ini, jika kemudian dilanjutkan pada perbandingan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam, terkait bagaimana pandangan keduanya terhadap konsep manusia ekonomi: rational-according to conventional economics vs Islamic rational, dengan mengutip penjelasan dari ibu Sri Mulyani pada Diskusi Buku the Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia masa Depan oleh KEI FSI, SM FEUI dan senat Mahasiswa SEBI, di Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001, adalah sbb:

“Di situ disebutkan kegagalan pasar disebakan asimetric information yang disebabkan moral Hazard. Sebenarnya, bila orang Islam menjalankan Islam dengan sesungguhnya pasti tidak akan terjadi asimetric information dan moral hazard karena orang Islam selalu mengatakan ;’walaupun kamu ada di kutub dunia atau di dalam kamar sendiri, kamu tidak bisa melakukan moral hazard karena ada yang mengawasi. Karena ada informasi yang lengkap , info lengkap itu dari Tuhan. Jadi ada self built in mechanism di dalam mental yang menyatakan: saya sebetulnya bisa menipu tapi saya tidak akan menipu. Padahal kalau di dalam ilmu ekonomi konvensional seseorang kalau diberi opportunity untuk menipu, di “pasti” menipu. Itu yang disebut rational behavior according to conventional economics, ini telah jelas.”
 
Kesimpulan dari penulis atas tulisan di atas adalah sebagai berikut:
 
1. Konsep “benar dan salah” dalam peniliaian manusia-ekonomi pada manusia ekonomi Islami adalah didasarkan pada wahyu (Qur’an dan hadist; yang mana berorientasi pada perlindungan maqqasidus as syriah yang menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan probadi dengan kepentingan masyarakat). Sebaliknya, konsep benar dan salah pada manusia-ekonomi konvensional adalah filsafat hedonism, di mana benar dan salah direduksi pada penilaian menurut Darwinisme social (kebenaran=kekuatan, kekayaan, kekuasaan; dan kesalahan=kemiskinan, ketertindasan; di mana menurut filsafat ini “tidak boleh” bagi yang kaya untuk membantu yang miskin karena itu bertentangan dengan seleksi alam dan evolusi masyarakat); menurut Materialisme (kebenaran=ekspoitasi sumber daya alam guna mencapai kenikmatan fisik yang maksimal; kesalahan=aktivitas social non ekonomi, dan aktivitas yang tidak berdampak langsung pada “keuntungan mterial’ mislakan pelestarian lingkungan; yang mana ini kemudian membawa pada eksploitasi alam) serta Determinisme (mirip social Darwinisme yang menolak tanggung jawab moral dan tingkah laku manusia).
 
2. Ekonomi konvesional, melalui doktrin, manusia rational-nya menafikkan nilai moral dan kebaikan dalam diri manusia. Dalam pandangannya, manusia adalah pribadi yang individualis dan begitu mengutamakan self interest. Malakukan segala macam cara, walau harus menipu sekalipun, guna mencapai tujuannya. Sehingga bangunan Corporate Governance yang ada dalam sistem ini dibangun dengan penilaian awal bahwa sistem tatakelola yang dibangun harus bisa “menutup” segala akses agar manusia yang menurut mereka semuanya penuh nafsu dan rasional ini kemudian bisa “dikendalikan” dalam sebuah sistem. Mereka tidak mengenal istilah pendekatan moral untuk mengatur behavior manusia. Sebaliknya, dalam ekonomi Islami, sistem ini memandang bahwa manusia , selain meiliki potensi kejelekan, juga memiliki potensi kebaikan,. Sehingga tatakelola yag dibangun dengan dasar ini kemudian akan membuat sebuah sistem yang juga “menutup” akses bagi potensi jahat untuk bisa keluar. Namun, di sisi lain, ekonomi islami yang relijius ini tidak menafikkan untuk melakukan pendekatan moral untuk mengatur perilaku manusia karena pada dasarnya mereka juga memiliki potensi positif. (Dan menurut penulis, inilah yang lebih ideal, sebab jika menutup mata pada pendekatan moral, bahkan dalam ekonomi yang dibangun atas dasar konvesional pun, para ekonom konvensional kemudian menghadapi sebuah masalah, sebagai contoh adalah apa yang tertulis dalam buku Kieso: Intermediate Accounting; sesorang (akuntan) bahkan, bisa melakukan untuk kegiatan yang “melanggar hukum (misalkan korupsi atau pencucian uang)” namun laporan keuangan yang dibuat masih “memenuhi” aturan standard akuntansi.)
 
Penulis adalah Ardiansyah Selo Y.
(Undergraduate Student-Accounting Department
Faculty of Economy University of Indonesia)

Referensi:
- The Future of Economics: An Islamic Perspective, Umer Chapra *
- Hasil Diskusi Buku: The Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia Masa Depan oleh KEI FSI, SM – FEUI adan Senat Mahasiswa SEBI, Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001
- Intermediate Accounting, Donald e. Kieso et all. Eleventh Edition.
- Pemahaman atas Materi dari Mata Kuliah Corporate Governance
READ MORE - Konsep Manusia Ekonomi: Perspektif Konvensional vs Syariah

Tuesday, April 20, 2010

Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 2 dari 2)

Baca bagian pertama

Apakah Civil Society sepadan dengan Masyarakat Madani?
Mencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena  adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita.

Banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada  tradisi Arab-Islam sedang  civil society tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.[9]

Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, ehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham  bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti  peradaban atau kebudayaan tinggi.[10]

Penggunaan istilah masyarakat madani  dan civil society di Indonesia sering disamakan  atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.

Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Allatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan ad-Din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-y-n. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah ad-Din (Syari’ah Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua kelompok (kaum) di Madinah.[11]

Menilik pengalaman sosio-historis Islam, masyarakat madani merupakan refresentasi dari masyarakat Madinah yang diwariskan Nabi Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama terkemuka, disebut sebagai ”masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang pernah dirintis Nabi SAW”.[12]

Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara dalam perspektif Islam bukanlah sekedar alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja sebagaimana halnya liberalisme-kapitalisme akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan individu, jamaah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “bahwa sejak zaman Nabi Muhammad, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Muhammad sebagai kepala Negara”.[13]

Penutup
Secara historis antara konsep civil society dengan masyarakat madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau (sang Nabi) memperjuangkan kedaulatan, agar seluruh kelompok di kota Madinah terbebaskan (terjamin hak-haknya) serta ummatnya (Muslim) leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum yang disepakati bersama (piagam Madinah).

Masyarakat madani secara ringkas dapat didefiisikan sebagai masyarakat yang beradab. Kata madani terambil dari kata ad-Dien (bhs arab, berarti; undang-undang, peraturan, hukum). Dari kata ad-Dien ini pula muncul kata madinah-madyan-tamaddun yang berarti ’kota’ (bhs yunani; polis), hingga berarti ’peradaban’. Dari kata madinah muncul kata dayyan (pemimpin, kepala ’kota atau peradaban’). Singkatnya masyarakat madani dapat disebut segagai masyarakat yang berlandaskan etika, moral, hukum, keadilan dan semangat demokrasi (bermusyawarah/syuro).

Madani merupakan suatu masyarakat yang berkomitment pada nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas dan ber-demokrasi. Tanpa demokrasi (musyawarah, kontarak sosial) tidak akan tercipta masyarakat madani. Madani merupakan suatu keadaan dimana setiap elemen masyarakat bebas mengekspresikan ’keberagamannya’ sesuatu dengan yang telah disepakati bersama (kontrak sosial). Keberagaman (pluralitas) entah itu berupa agama, ideologi, kepercayaan, budaya dan etnis justru sangat dihargai dalam masyarakat madani.

Kata kunci dalam masyarakat madani adalah toleransi. Toleransi antarsetiap elemen masyarakat akan menciptakan suatu keharmonisan.di atas pondasi toleransi itulah dibangun sebuah masyarakat bermoral, beradab (’beradab’ memberikan visi bahwa; nature dari manusia adalah pluralitas dan mengarah pada konflik, oleh karena itu, sebisa mungkin konflik dan perbedaan di sublimasi lewat musyawarah/kesepakatan bersama, tidak lewat ’pertumpahan darah’, politik tidak ’berdarah-darah’ namun diselesaikan dengan duduk bersama musyawarah).

Masyarakat madani pada awalnya tidak memiliki landasan teologis Islam.
Konsep civil society ada persamaan dan ada juga perberbedaannya dengan konsep masyarakat madani. Adam Ferguson seorang penulis Inggris dengan bukunya An Essay on history of Civil Society (1776). Gagsan tentang civil society kemudian dikembangkan oleh para pemikir barat seperti Thomas Hobbes, John Lock, J.J Rouesseau, Karl Mark, Antonio Gramschi, dan Hegel. Para pemikir ini walau berbeda dalam konsep sifat dasar (nature) manusia (ada dengan pendekatan konflik, keteraturan hingga pendekatan normal) para pemikir barat tersebut sama-sama mengarah pada ’social contract’ (prinsip kontrak sosial). Dan memang sejak awalnya konsep masyarakat madani (kontak sosial) di tujukan untuk membatasi peran negara (state) yang cendrung korup, absolutis dan represif. Persamaan antara konsep civil society dengan masyarakat madani ialah sama-sama menjunjung tinggi ”kontrak sosial”.

[9] Achmad Jainuri, Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan kasus tentang sikap Budaya, Agama, dan Politik, kata pengantar untuk Sufyanto, Op.Cit.
[10] Mulyadhi Kertanegara, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam. Media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.
[11] Lihat, S. M. N. Al-Attas. 2001. Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. Hal: 7
[12] Sangat Modern dalam tingkat komitmen, partisipasi, dan keterlibatan yang tinggi dari seluruh lapisan masyarakat, papar Robert N. Bellah, dalam bukunya Beyond Belief, 1976, hal; 150-151.
[13] Lihat, Syamsudin Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama, (Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “ISLAMIA” : Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, Januari – Maret 2007), hal : 42.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syamsudin. Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama, (Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “ISLAMIA” : Melacak Akar Peradaban Barat) Vol. III No. 2, Januari – Maret 2007.

Al-Attas, Syed. M. Naquib. 2001. Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.

Bellah, Robert N. 1967. Beyond Belief. .

Cox, Harvey. 1967. The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: The Macmillan Company.

Abdillah Azizy, A. Qodri. 2000. Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti. Jogjakarta, Pustaka Pelajar.

Lajar, Leo Laba. 1992. Sekularisasi dan Sekularisme: Otonomi Terhadap Allah, dalam Alex Seran, Iman dan ILmu: Refleksi Iman atas Masalah-Masalah Aktual, Yogyakarta : Kanisius.

Kertanegara, Mulyadhi. Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam. Media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.

Seligman, Adam B. 1992. The Idea of Civil Society, New Jersedy, Princeton University Press.
 
Sufyanto. Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
READ MORE - Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 2 dari 2)

Friday, April 16, 2010

Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 1 dari 2)

oleh Dwi Zatmiko, Mahasiswa Ilmu Filsafat FIB UI
Tulisan ini juga dipublikasikan di buletin Ilmiy Digest milik Ilmiy UI

Perlu kita pahami, perbincangan seputar masyarakat madani (di Asia) sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, konsep masyarakat madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil (civil society) oleh beberapa pakar Sosiologi.

Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat madani dan kemunculan istilah masyarakat sipil.

Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris ’civil society’ yang mengambil dari bahasa Latin ’civilas societas’. Secara historis karya Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767) merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society). Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar konsep masyarakat model Marxisme. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas. Masyarakat sipil merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial yang monarkis, feodal ataupun borjuis) serta membatasi diri dari lingkaran negara.[1]

Konsep civil society lebih lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville.

Dari berbagai versi tentang konsep civil society tersebut, Asrori S. Karni dalam Ahmad Baso (1999) menyimpulkan ada 5 (lima) teori civil society yang ada di Barat :

Pertama, teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesaian dan peredam konflik dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan negara.

Kedua, teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama.

Ketiga, teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil).

Keempat, teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruhآ  harapan berarti terhadap entitas civil society. Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya, tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya.

Kelima, teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force) kekuatan negara, meng-counterآ  hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara.

Adapun Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah  Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, civil society dalam tatataran kelembagaan/organisasi  sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan.[2]

Apa yang melatar belakangi munculnya Civil Society?
Ide civil society muncul di Eropa antara abad ke-17 dan abad ke-18, ide itu muncul dari kondisi krisis dalam social order dan kebuntuan dalam paradigma tentang order itu sendiri.[3] Secara umum krisis di AEropa abad ke-17 meliputi; komersialisasi tanah, tenaga kerja, dan modal; pertumbuhan ekonomi pasar; abad penemuan/kebangkitan sains; hingga revolusi kontinental Inggris dan Amerika.[4]

Jadi, konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi [5] dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. Civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung yang menggantikan agama (gereja), dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.

Dengan demikian, civil society aslinya adalah bersifat sekularistik [6], yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme.

Bagaimana dengan konsep Masyarakat Madani?
Masyarakat madani merupakan istilah bahasa Indonesia. Muncilnya istilah ’masyarakat madani’ di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa istilah ”masyarakat madani” sebagai terjemahan  “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium  nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995.

Dewasa ini, di Indonesia istilah masyarakat madani semakin banyak didengungkan, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Perkembangan wacannya  menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan  dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo Bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.[7]

Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran  Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia  termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada  artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.[8]

Namun, istilah masyarakat madani memiliki akar istilah bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab. Jadi, penelitian secara bahasa, latar belakang sosio-historis Islam atas istilah ’madani’ sangatlah penting untuk memahami dinamika (kemungkinan perubahan makna dari zaman ke zaman) serta penarikan simpul makna yang dikandungnya (relevan) saat ini.
 
[1] Lihat, Adam B. Seligman, The Idea of Civil Society, New Jersedy, Princeton University Press. 1992. Hal; 46-55.
[2] A. Qodri Abdillah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti. Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2000. Pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan., dalm hal ini civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik  (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society  menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan  pada nilai dan kepercayaan. Yang mana menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep  durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas  bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim
[3] “…,the emergence of the idea of civil society in the later seventeenth and eighteenth centuries was the result of a crisis in social order and breakdown of eksisting paradigms of idea of order”. Op. Cit, Adam B. Seligman, hal ; 15.
[4] Ibid.
[5] Istilah ‘Sekularisasi’ dipakai mula-mula untuk menunjuk gerakan-gerakan politik tertentu dalam ‘Perjanjian Westfalen’ pada akhir ‘Perang Tiga Puluh Tahun’ (1646). Dinilai sebagai proses pendewasaan manusia untuk menjadi otonom dan tidak tergantung kepada kekuatan diluar dirinya sendiri. Istilah sekularisasi semula memang digunakan untuk pengalihan kepemilikan wilayah atau harta dari gereja kepada negara menjadi simbol pembebasan manusia modern dari kendali keagamaan. Berbicara mengenai masyarakat dan institusi-institusi dalam sejarah Barat-Modern, sekularisasi tampak di dalam ‘evakuasi’ (pemindahan) yang tidak hanya pada wilayah (tanah) dan harta, melainkan juga pengaruh atas pendidikan dan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, sekularisasi mempengaruhi kebudayaan secara total hingga bagian seni, sastra, filsafat yang semakin sekular. (Baca; Leo Laba Lajar, Sekularisasi dan Sekularisme: Otonomi Terhadap Allah, dalam Alex Seran, Iman dan ILmu: Refleksi Iman atas Masalah-Masalah Aktual, Yogyakarta : Kanisius, 1992. hal : 31).
[6] Sekularistik adalah ketika manusia mengalihkan perhatiannya dari dunia transenden-supranatural, menuju dunia ‘kini’ dan ‘disini’. Dengan kata lain, sekularistik merupakan pembebasan manusia dari kungkungan tradisi metafisis dan keagamaan. Istilah sekular berasal dari bahasa latin saeculum yang dapat diartikan sebagai ‘masa kini’ atau ‘dunia.’ ( Lihat, Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: The Macmillan Company, 1967. Hal : 17-20).
[7] Ibid.
[8] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
 
Bersambung ke Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 2 dari 2)
READ MORE - Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 1 dari 2)

Monday, April 05, 2010

Membuat Website Dinamis

Website dinamis telah menjadi bagian dari kehidupan seseorang. Situs facebook, google, yahoo dan masih banyak lagi sudah akrab di telinga kita semua. Semua itu tidak lain merupakan website dinamis, termasuk di dalamnya blog. Website menyajikan hal tertentu sesuai keinginan pembuat. Adapun sisi dinamis karena menampilkan informasi secara berkala. Bagaimana membuat semua itu?

Membuat website dinamis tidak begitu sulit, hanya membutuhkan ketekunan. Banyak pilihan ketika ingin membuat website pribadi. Pada tulisan ini hanya akan membahas pembuatan website secara pribadi, bukan melalui blogger dan sejenisnya. Untuk membuat website ini kita memiliki beberapa pilihan sebagai berikut:

Pertama, membuat website secara mandiri. Pilihan ini dilakukan dengan menyusun sendiri kode program yang dibutuhkan untuk membuat website. Website sendiri merupakan kumpulan kode program yang disusun secara rapi oleh programmer. Oleh karena itu, bila kita ingin memiliki website dan ingin mempelajari bahasa yang digunakan maka bisa menggunakan pilihan ini. Tidak banyak yang diperlukan, hanya memerlukan kecakapan tertentu misal dalam bahasa html, php, dan mysql atau dengan bahasa pemrograman lainnya.
  
Dengan pilihan pertama tentu kita akan lebih bisa mengeksplorasi tentang bahasa pemrograman. Dengan memilih cara ini juga kita akan tahu seluk beluk program yang kita buat. Namun, kita harus mengorbankan banyak waktu untuk menggeluti semua ini. Selain itu, ada kemungkinan ada kelemahan dalam hal keamanan dan system atau alur kerja yang kita buat sendiri.
  
Kedua, kita bisa membuat website dengan menggunakan fasilitas Content Management System (CMS). CMS ini mampu mempresentasikan isi (misal berita) tanpa harus mengetahui kode yang digunakan. Pengguna hanya tinggal mengetik berita pada word processor biasa (Holzer, 2009:13). Cara ini juga dapat digunakan bagi pengguna bila ingin membuat website secara cepat. Caranya, mereka harus mendownload kode program yang disediakan kemudian diinstall pada server yang digunakan. Beberapa contoh CMS misalnya Joomla, Wordpress, dan sebagainya.
  
Kekurangan dari penggunaan CMS adalah bahwa pengguna menjadi menggantung pada pengembang. Pengguna atau programmer dari CMS lebih banyak menggunakan fasilitas dari komunitas yang sudah ada sehingga sulit untuk mengembangkan sendiri. Namun, hal ini tidak selamanya benar, asalkan programmer mau belajar, tentu mereka juga bisa mengembangkan seperti para pengembang (developer) lainnya.
  
Pilihan ketiga adalah menggunakan Framework PHP. Kemunculan Framework PHP disebabkan beberapa hal di antaranya perlunya membuat kode program yang bersifat kontinu. Artinya kode program ini bisa digunakan orang lain tanpa perlu membuat ulang (Upton, 2007:13). Dengan adanya framework ini pengembangan website akan membutuhkan pengembangan bahasa yang lebih minimum. Banyak framework yang dapat kita gunakan ketika akan membuat website misalnya CodeIgniter, Zend framework, Cake, Trax,  dan masih  banyak lagi.

Holzer, Steven Ph.D  and Nancy Conner, Ph.D. 2009. Joomla for Dummies. USA:Wiley Publishing
Upton, David. 2007. Codeigniter for Rapid Application Development. USA: Packt Publising


Ditulis oleh Subhan, Universitas Negeri Semarang
READ MORE - Membuat Website Dinamis

Thursday, March 04, 2010

Islam dan Ilmu Pengetahuan

Dalam diskursus ilmu pengetahuan kontemporer, penjelasan agama terhadap fenomena kehidupan seringkali terabaikan, bahkan tertolak. Agama menjadi sesuatu yang musykil untuk dijadikan landasan argumentatif dalam telaah dinamika struktur dan sistem kehidupan. Sepertinya, terdapat jurang pemisah antara agama dan ilmu pengetahuan yang tak mungkin dipertemukan.

Kondisi tersebut merupakan fakta yang terjadi dalam aktivisme intelektual saat ini. Bukan tanpa alasan, penolakan terhadap agama dalam diskursus ilmu pengetahuan ini memiliki akar sejarah yang panjang, tepatnya pada masa pra-renaisance. Pada periode tersebut, agama (Kristen) merupakan satu-satunya kekuatan dominan yang menghegemoni kehidupan di Eropa (Husaini, 2005). Interpretasi atas realita, mutlak berada di tangan Gereja sebagai institusi otoritatif atas tamsil-tamsil kebenaran Tuhan. Gereja membawa pengetahuan ke dalam domain keimanan dan menjadi bagian dari doktrin agama. Sebuah bentuk kooptasi terhadap kebebasan intelektual.

Relasi kekuasaan pun berubah, otoritas agama tumbang di Eropa. Evolusi pemikiran yang sebelumnya berada dalam keterkungkungan Gereja, telah membawa pada suatu revolusi kehidupan, enlightment. Perubahan ini tidak hanya menciptakan kehidupan baru di dalam alam kebebasan berfikir, namun juga terus membawa dendam historis ilmu pengetahuan atas agama. Hasilnya, agama dijauhkan dari aktivitas keilmuan.

Revolusi ilmu pengetahuan ini telah berhasil membawa Eropa dari ‘Masa Kegelapan’ menuju ‘Era Pencerahan’. Eropa dengan fondasi ilmu pengetahuan pasca-renaisance, telah mengkultuskan diri sebagai pusat peradaban dunia. Pengalaman atas dominasi hegemonik Gereja telah membawa aktor intelektual Eropa untuk membangun ilmu pengetahuan yang resisten terhadap agama. Pemahaman ini terus disebarkan ke seluruh penjuru bumi sebagai upaya pencerahan dunia. Memisahkan agama dalam ilmu pengetahuan menjadi mutlak diperlukan, untuk membangun kejayaan dalam tatanan kehidupan. Karenanya, ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai (value free), jauh dari nilai agama.

Hingga kini, paradigma bebas nilai terus menjiwai setiap aktifitas keilmuan. Perspektif atas analisa permasalahan kehidupan, saat ini, hanya disandarkan pada kekuatan akal melalui kapasitas rasionalnya. Nalar ‘dipaksa’ untuk mengkonstruksikan seluruh definisi yang ada dalam fenomena alam dan sosial. Logika rasional menjadi doktrin tersendiri untuk mendefinisikan fakta kehidupan yang tak terbantahkan. Walhasil, ilmu pengetahuan menggantikan peran agama, dan mengklaim diri sebagai pemegang otoritas kebenaran secara mutlak. Dialektika pencarian kebenaran ini telah menghasilkan polarisasi antara ilmu pengetahuan dan agama secara ekstrim.


Perspektif Islam atas Ilmu

Paradigma keilmuan tersebut (baca: paradigma Barat) tentunya sangat berbeda dengan perspektif Islam tentang ilmu pengetahuan. Islam tidak memandang ilmu pengetahuan sebagai musuh keimanan atas konsep kepercayaan terhadap tuhan, Allah SWT. Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan instrumen yang ditujukan untuk memperkokoh keimanan itu sendiri. Sebaliknya, Islam justru menuntut ummatnya untuk menguasai pengetahuan dalam banyak tantangan retoris al-Qur’an, tidakkah kamu melihat, tidakkah kamu perhatikan, tidakkah kamu mengetahui, tidakkah kamu berfikir.

Islam memandang bahwa pada hakikatnya relasi akal dan iman dalam dialektika ilmu merupakan hubungan yang bersifat komplementer. Artinya, kapasitas keilmuan seseorang menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan derajat keimanan. Ilmu dan iman bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, tapi dipadukan untuk membangun fondasi tauhid, untuk menciptakan sebuah harmoni kehidupan sebagai wujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Hal inilah yang terjadi pada masa kejayaan Islam terdahulu. Ilmu dan iman mampu membangun kombinasi yang khas hingga menciptakan suatu capaian peradaban yang tak terkira. Tidak pernah terjadi dalam sejarah Islam bahwa, agama melakukan kooptasi terhadap ilmu pengetahuan dan kapasitas nalar, hanya karena produk ilmu pengetahuan tersebut berbeda dengan dalil wahyu. Yang terjadi malah sebaliknya, ilmu melalui logika eksperimental akal, membuktikan kebenaran-kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Dengan demikian, Islam tidaklah membuat sebuah segregrasi yang radikal antara kapasitas akal dengan otoritas wahyu.

Relasi ilmu pengetahuan antara akal dan wahyu ini dikarenakan Islam mendiferensiasikan sumber ilmu ke dalam dua kategori, yaitu sumber kauliyah dan sumber kauniyah melalui suatu proses dialektis (Yahya, 2003). Sumber kauliyah merupakan pengetahuan hakiki yang dibawa oleh al-Qur’an dengan kapasitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Dengan demikian, al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan mendasar bagi manusia. Sementara, sumber kauniyah merupakan pengetahuan karya eksperimental yang diperoleh manusia melalui proses berfikir dengan menggunakan akal. Pencarian pengetahuan dalam Islam tidak dapat berjalan sendiri-sendiri antara akal dan wahyu, melainkan proses mencari jawaban pengetahuan dalam koridor keimanan, sebagaimana kalam ilahi pertama kali yang turun, bacalah dengan menyebut nama Rabbmu.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa proses berfikir dalam menemukan pengetahuan merupakan tututan bagi manusia, dan inilah yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang tidak mengetahui apa-apa mengenai sekelilingnya, hingga akhirnya Allah SWT memberikan pengetahuan pada manusia melalui proses berfikir. Berfikir merupakan proses penerjemahan bayang-bayang di balik perasaan, dan aplikasi akal untuk membuat analisa dan sintesa. Dalam proses ini, akal memiliki peranan yang sangat signifikan untuk mendapatkan pemahaman pengetahuan tersebut melalui penafsiran bayang-bayang kauniyah dan sumber kauliyah.

Kerangka berfikir yang dibangun dalam konsep ilmu dalam Islam merupakan sebuah upaya mengungkap pengetahuan dalam rangka mengagungkan kebesaran Allah SWT. Karenanya, sekalipun mendapatkan hasil temuan yang berbeda antara sumber kauliyah dan kauniyah, maka itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menegasikan salah satu sumber, terlebih untuk menegasikan ayat-ayat kauliyah. Temuan ayat kauniyah bersifat relatif dan sementara. Ketika temuan kauniyah berbeda dengan tesis kauliyah, maka tidak bisa disimpulkan bahwa salah satu dari keduanya salah. Sebenarnya dalam proses tersebut, penafsiran atas fenomena kauniyah itu tengah berada dalam proses menuju kebenaran kauliyah hingga ditemukan titik temu antara kedua preposisi sumber ilmu pengetahuan ini.

Islam memiliki fokus yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Perpaduan antara dua sumber pengetahuan ini berikut proses pencariannya inilah yang kemudian membangun dasar-dasar keilmuan dalam Islam. Yusuf Qaradhawi (2002) menyatakan bahwa dalam Islam, ilmu pengetahuan menjadi sangat penting untuk dimiliki sebelum melakukan suatu tindakan. Hal ini dikarenakan bahwa dari pilar-pilar keilmuan Islam tersebut, kemudian akan menjadi dasar bagi pembangunan peradaban Islam.

Namun, kondisi ideal ilmu pengetahuan dan Islam sangat jauh dari kenyataan. Saat ini, ilmu pengetahuan tengah‘dijauhkan’ dirinya dari dari sentuhan Islam sebagaimana dalam konsep ilmu pengetahuan kontemporer. Pada saat yang bersamaan, ummat Islam pun jauh dari ilmu pengetahuan dan lekat dengan kebodohan. Revitalisasi keilmuan Islam bukan sekedar membangkitkan kapasitas intelektual kaum cendikia muslim semata. Lebih jauh dari itu, langkah tersebut merupakan sebuah upaya merealisasikan komitmen pada kebenaran.

Membangun paradigma keilmuan Islam merupakan upaya pembangunan sinergi antara kapasitas akal dan iman. Melakukan pembuktian atas kebenaran iman melalui interpretasi akal atas fenomena kehidupan. Hal ini tentunya menjadi tugas generasi muslim saat ini untuk mengembalikan era Tamadun Islam. Membangun kembali peradaban dunia yang baru, dengan ilmu pengetahuan dan Islam.

Ditulis oleh Hudzaifah Hanum, Cendekiawan Muslim
READ MORE - Islam dan Ilmu Pengetahuan

Monday, December 21, 2009

INI MASALAH BUDAYA

Sudah lama tidak menulis dikarenakan beberapa tugas riset yang harus dikerjakan. Pada waktu yang agak tenang dikarenakan pusing membaca paper yang intinya hampir sama dengan paper lain.

Pada kesempatan ini saya ingin membahas suatu hal yang terpenting dalam kehidupan, yaitu mengenai budaya. Beberapa orang yang mengatakan bahwa Indonesia sudah etinggalan teknologi nih. Mesin-mesin yang digunakan biasanya tidak terlalu maju. Lihat dikehidupan luar negeri, orang bisa menggunakan kartu untuk bisa akses transportasi, akses untuk masuk ruangan dll. Mungkin ada yang bertanya kapan nih Indonesia bisa menggunakan teknologi maju.

Jawaban saya sih simpel atas pertanyaan tersebut. Saat ini juga kita bisa merasakan semua teknologi yang tinggi. Tapi ini bukan masalah menggunakan teknologi tetapi
masalah apakah budaya daerah tersebut menerima teknologi tersebut? Sejujurnya, ketika pertama kali saya tiba di Seoul (Korea Selatan), perhatian saya terfokus ke sebuah mesin yang ada tombolnya dan bagian tempat memasuki uang kertas atau koin. Lalu saya memperhatikan dengan saksama seseorang menggunakan mesin tersebut dan dia dengan mudah mendapatkan minuman yang dia inginkan. Saya bingung melihat mesin itu.
Yang saya bingungkan bukan cara kerja mesin itu tapi yang saya bingungkan adalah kok mesin itu ga rusak ya. Saya tidak menyalahkan diri saya jika hal pertama yang saya pikirkan adalah pertanyaan itu.
Kenapa? Dikarenakan jika mesin itu digunakan di tempat umum di Indonesia maka mesin itu dalam hitungan hari sudah rusak. Kalau mengenai pembuatan mesin itu, saya ribadi tidak meragukan SDM Indonesia untuk membuat mesin itu.

Ini bukan masalah teknologi apa bisa berkembang di Indonesia atau masalah apakah kita bisa menghasilkan teknologi, tapi ini masalah budaya. Jika budaya di kehidupan sudah beradaptasi dengan menggunakan teknologi maka dengan mudah teknologi tersebut berkembang. Contoh kasus sederhana saja, jembatan suramadu (menghubungi pulau Jawa dengan Madura). Beberapa hari jembatan tersebut diresmikan, beberapa komponen jembatan tersebut sudah berhilangan. Hal ini kelihatan bahwa cara berpikir orang yang mengambil tersebut sangat sederhana, yang penting dia ambil komponen itu lalu dia jual dan dia bisa makan padahal jika dia berpikir lebih jauh jika dia ambil komponen itu maka jembatan tersebut akan rusak dan perkonomian Madura bisa menghadapi masalah dan juga membuat APBD baru untuk memperbaiki jembatan tersebut yang diambil dari rakyat sehingga program untuk kesejahteraan rakyat tertunda untuk memperbaiki jembatan tersebut. Apakah kita salahkan cara berpikir pendek tersebut? Tidak, cara berpikir tersebut wajar saja muncul. Dikarenakan permasalahan yang
kompleks dihadapi Indonesia dan juga banyak orang yang kehilangan pikiran bijak. Intinya ga salah jika saat ini pemikiran hidup untuk makan.

Hal yang lain adalah mengenai budaya konsumtif. Apakah ada orang Indonesia menggunakan handphone yang mempunyai bench mark dari Indonesia? Wajar kalau jawabannya tidak. Coba perhatikan, ada berapa perusahaan industri yang memiliki R&D department di perusahaannya yang berada di Indonesia? Wajar jawabannya sedikit mungkin aja jawabannya tidak ada. Kebanyakan perusahaan industri mendirikan perusahaan di Indonesia hanya sebagai cabang untuk assembly aja. Loh kok bisa? Soalnya beberapa perusahaan multi nasional sudah melihat peluang yang besar jika membuat kantor cabang di Indonesia hanya sebagai kantor assembly saja. Dan kebanyakan R&D mereka untuk wilayah Asia Tenggara dilokasikan di Singapur, negara yang kecil malah lebih besar kota Medan. Bisa jadi perusahaan tersebut melakukan
keputusan tersebut berdasarkan analisa budaya daerah tersebut.

Ketika saya melihat acara kick andy yang bertopik tentang ilmuwan Indonesia di
luar negeri, saya melihat banyak ilmuwan kita yang berkarya di luar negeri. Ada yang mengatakan mereka lebih dihargai berada di luar negeri di bandingkan berada di dalam negeri. Wajar saja pikiran itu muncul, hal ini dikarenakan budaya dan juga kebijakan pemerintah belum mendukung. Lalu kapan dong teknologi kita bisa berkembang? Mulai dari sekarang kondisi ini bisa berubah, dengan syarat kita melakukan perubahan mulai saat ini, mulai dari sendiri dan mulai hal yang kecil.

Peradaban itu merupakan investasi dari budaya. Jika budaya tersebut baik maka
peradaban yang dihasilkan juga baik. Dan menurut saya agama merupakan salah satu faktor yang bisa memberikan perubahan ke arah yang baik terhadap budaya. Berdasarkan salah satu artinya secara textual, Islam merupakan selamat. Jika kita berpegang teguh dengan ajaran Islam maka kita juga bisa menghasilkan budaya yang baik. Dan saya yakin suatu saat peradaban Islam akan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang bisa berkarya (kapan ya Ibnu Sina, Al Biruni, Abbas ibn Famas,dsb baru terlahirkan?).

Ada suatu ungkapan yang saya pegang, ini bukan masalah uang tapi ini masalah karya. Jika kita bisa menghasilkan karya (meraih mimpi) maka uang dengan sendiri akan mengalir. Dan nasehat ayah kepada saya: jika kamu mempunyai keahlian, dimana pun kamu berada akan dicari-cari orang yang membutuhkan dirimu.

Hadi Teguh Yudistira
Staf Bidang Riset MITI-Mahasiswa
READ MORE - INI MASALAH BUDAYA

Tuesday, December 08, 2009

Community Development Program

Pembangunan masyarakat, merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.

Community Development Program (Program Pengembangan Masyarakat) merupakan suatu progam / proyek yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, Partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan.

Terpuruknya perekonomian negara ditambah semakin merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara langsung membuat masyarakat menjadi tidak berdaya. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat, pengangguran yang sudah mencapai 40 juta, keluarga jalanan dan anak jalanan menjadi masalah sosial yang menonjol di perkotaan; anak-anak putus sekolah pada semua jenjang pendidikan makin bertambah, masalah kriminalitas yang makin meningkat, ditambah dengan masalah sosial lainnya yang membuat masyarakat tidak berdaya memenuhi kebutuhan pokoknya.

Pola pemberdayaan masyarakat bukan merupakan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya, karena yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.

Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya:
"as the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress".
(Luz. A. Einsiedel 1968:7).

Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.

US International Cooperation Administration mendeskripsikan Pengembangan Masyarakat itu sebagai :
" a process of social action in which the people of a community organized themselves for planning action; define their common and individual needs and problems; make group and individual plans with a maximum of reliance upon community resources; and supplement the resources when necessary with service and material from government and non-government agencies outside the community ".
( The Community Development Guidlines of the International Cooperation Administration, Community Development Review, December,1996,p.3).

Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.

Melengkapi kedua definisi di atas, Arthur Dunham seorang pakar Community Development merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut.
"organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity for community integration and self-direction. Community Development seeks to work primarily through the enlistment and organization of self-help and cooprative efforts on the part of the residents of the community, but usually with technical assistance from government or voluntary organization".
(Arthur Dunham 1958: 3).

Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri.

Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.

Arthur Dunham membedakan "Community Development" dengan "Community Organization" : community development is concerned with economic life, roads, buildings, and education,as well as health and welfare, in the narrower sense. On the other hand, community welfare organization is concerned with adjustment of social welfare needs and resources in cities, states, and nations as in rural villages. Jadi community development lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization identik dengan pembangunan masyarakat kota.

Lebih lanjut Dunham mengemukakan 4 unsur-unsur Pengembangan Masyarakat sebagai berikut.
1. A plan program with a focus on the total needs of the village community;
2. Technical assistance;
3. Integrating various specialities for the help of the community; and
4. A major emphasis upon selp-help and participation by the residents of the community.


Dari definisi Community Development di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Community Development merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi - follow-up activity and evaluation.
2. Community Development bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
3. Community Development memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselves dapat menjadi kenyataan.
4. Community Development memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama - group action - di dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat.

Community Development dengan segala kegiatannya dalam pembangunan menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community".

Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need .

Metode kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar KI Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia - ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani - yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan.

Penulis: Dicky Rahardiantoro (an Effort to Humanize Human)
Sumber : dickyrahardi.blogspot.com
READ MORE - Community Development Program

Tuesday, October 20, 2009

Paket Share Keilmuan Untuk NTB Yang Lebih Baik

Oleh:
Handa Muliasari


Sebagai negara berkembang, saat ini Indonesia masih belum bisa berdiri sama tegak dan duduk sama tinggi dengan bangsa lain di dunia. Berdasarkan penilaian Human Development Index (HDI) yang menjadi standar internasional pembangunan manusia sebuah negara, menempatkan Indonesia pada urutan 112 dari 175 negara. Peringkat ini cukup jauh bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Thailand (74), dan Filipina (74). Padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun tidak diolah dengan baik karena kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas.

Keadaan tersebut tidak terlepas dari masalah kemiskinan yang diperparah dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang berefek pada rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Kondisi ini tidak terkecuali terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 2006 dan 2007 menempatkan NTB sebagai daerah dengan nilai pembangunan manusia yang berada pada level menengah bawah, dengan peringkat ke-32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah prestasi yang bisa dibanggakan.

Pemerintah provinsi NTB (2009) mencatat masih rendahnya tingkat kesejahteraan sosial yang ditunjukkan dengan jumlah penduduk miskin sebesar 1.990 juta jiwa (47,72%). Penduduk miskin tersebut tersebar di pesisir pantai, di daerah subur pertanian, hingga lingkar tambang dan hutan yaitu hampir 90%. Hal ini jelas memperlihatkan kepada kita bahwa kemiskinan yang tinggi justru terjadi pada lahan potensial yang jika diolah dan dikembangkan dengan baik akan meningkatkan pendapatan penduduk dan mengurangi angka pengangguran yang masih tinggi yaitu sekitar 135 ribu penduduk.

NTB pada dasarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah. Luas daratan NTB yang lebih dari 20 ribu km2 menyimpan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam, meliputi sumberdaya hutan dengan luas 1,1 juta hektar, ribuan hektar lahan persawahan dan perkebunan, daerah pertambangan, kelautan, dsb. Namun, eksploitasi sumber daya alam dengan pengetahuan yang masih kurang, berefek pada kerusakan alam seperti penebangan hutan dan kerusakan lingkungan berupa pembuangan limbah ke lingkungan tanpa managemen pengolahan limbah yang baik.

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional tahun 2006, jumlah penduduk NTB mencapai 4.257.306 juta jiwa. Lapangan kerja terbesar pada sektor pertanian (47%), dilanjutkan sektor perdagangan (18%) dan sektor jasa (12%). Namun jika dilihat dari PDRB provinsi NTB, ada dua sektor yang paling dominan share-nya yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan. Kedua sektor tersebut secara kontinu mendominasi PRDB NTB. Oleh karena itu, kegiatan perekonomian NTB sangat dipengaruhi oleh faktor musiman pada sektor pertanian yang sebagian besar dikelola oleh buruh tani dengan upah yang sangat rendah, dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara yang pangsanya mencapai lebih dari 99% dari total ekspor NTB.

Pada intinya, sumber daya yang melimpah namun tidak dapat dikelola dengan maksimal menyebabkan NTB dan Indonesia secara umum tetap berada dalam keterpurukan. Dengan gambaran berbagai kondisi tersebut, maka untuk membenahi Indonesia maka daerah-daerahnya harus dibenahi, terutama NTB.

Analisis Permasalahan Masyarakat NTB
Sebagaimana halnya sebagian wilayah di Indonesia, rendahnya kualitas sumber daya manusia di NTB berimplikasi pada penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, yang ditandai dengan semakin luasnya lahan kritis akibat kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan yang berdampak pada semakin berkurangnya sumber daya air mapun flora dan fauna yang juga berefek pada tingkat kesehatan maupun perekonomian.

Jika dicermati, terdapat tiga tolak ukur pembangunan yaitu pendidikan, kesehatan, dan pendapatan masyarakat. Ketiganya merupakan faktor yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Tanpa pendidikan dan kesehatan yang baik, maka tingkat pendapatan masyarakat akan rendah pula. Dalam kehidupan sosial, masyarakat cenderung untuk menjadikan tingkat pendapatan sebagai bagian yang terpenting karena berkorelasi langsung dengan pemenuhan kebutuhan pokok. Jika berfikir realistis, maka benarlah bahwa kebutuhan pangan dan papan adalah yang pertama mutlak terpenuhi.

Dengan pendapatan yang tinggi dan terpenuhinya kebutuhan pokok, maka selanjutnya akan memungkinkan untuk meningkatkan pendidikan lewat sekolah dan dengan pengetahuan yang baik seterusnya masyarakat akan lebih paham akan pentingnya kesehatan.
Sayangnya, kecenderungan masyarakat saat ini hanya terfokus pada pemenuhan konsumsi sehari-hari atau kebutuhan pangan, dan jika kebutuhan ini sudah terpenuhi, maka ini sudah dirasakan cukup. Dengan keterampilan yang tidak didukung oleh iptek, upaya pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan dengan mengolah sumber daya alam seadanya sehingga pendapatan masyarakat relatif rendah. Akhirnya, tanpa pengetahuan yang memadai berefek pada rusaknya lingkungan seperti penggunaan pestisida berlebihan, limbah yang langsung dibuang ke lingkungan, atau kerusakan hutan karena penebangan pohon.

Di sinilah generasi terpelajar dibutuhkan perannya untuk bisa menerapkan ilmunya untuk masyarakat. Namun, permasalahan yang muncul adalah banyaknya sarjana yang kemudian menjadi pengangguran karena tidak tahu bagaimana mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku kuliah. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya pemahaman untuk kreatif memikirkan solusi permasalahan yang ada di masyarakat dengan ilmu yang didapat. Selain itu, mahasiswa atau pemuda secara umum tidak mengenal potensi daerahnya dengan baik; tidak tahu dengan detail permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga perannya tidak signifikan untuk memperbaiki keadaan yang ada.

Permasalahan yang lainnya adalah kurangnya sinergi antara pendidikan dan pemerintah. Artinya, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah dengan berbagai program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan di lain sisi, pendidikan (dalam hal ini universitas) dengan penelitian-penelitian yang tidak kontinu dan tidak secara maksimal diterapkan untuk masyarakat.

Apa yang dibutuhkan masyarakat dari keilmuan mahasiswa?
Pada dasarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat dari komunitas ilmuan adalah transfer ilmu berupa teknologi tepat guna atau sentuhan iptek di berbagai bidang yang dapat diterapkan untuk bisa mengelola kekayaan alam dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dimasyarakat. Hal ini dapat diaplikasikan dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat serta dukungan moril dalam bentuk perhatian dan pendampingan yang kontinu dan terukur.

Sentuhan iptek tersebut merupakan komponen yang terpenting untuk bisa meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya alam. Sehingga memiliki daya saing tinggi yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan masyarakat dan menambah lapangan pekerjaan. Peningkatan pendapatan tersebut akan menyebabkan masyarakat dapat dengan mudah mengenyam pendidikan, dan dengan pengetahuaan yang baik menyebabkan timbulnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan dampak dari pencemaran lingkungan akibat tindakan manusia.

Bagaimana keilmuan mahasiswa berperan untuk mengentaskan kemiskinan?

Tidak diragukan lagi bahwa untuk dapat memberikan sentuhan iptek pada masyarakat, maka yang dibutuhkan adalah peran kaum muda dan terpelajar, salah satunya adalah mahasiswa. Mahasiswa pada dasarnya memiliki kemampuan untuk melahirkan kreativitas yang tinggi dengan arahan dosen pembimbing. Hanya saja, kreativitas ini perlu dibangkitkan sejak dini dengan menanamkan dan melatih logika berfikir untuk “aware” dengan lingkungan dan masyarakat sehingga memiliki orientasi untuk kreatif mengembangkan apa yang ada dan mencari solusi untuk menyelesaikan kesulitan masyarakat. Untuk itu, mahasiswa harusnya memahami sistem atau tata ruang daerah beserta potensi-potensi yang dimiliki serta permasalahan yang ada. Selanjutnya dikembangkan strategi pemberdayaan masyarakat dengan penelitian-penelitian yang layak jual dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Langkah yang dapat ditempuh adalah Sinergi antara pemerintah dan pendidikan
Adapun langkah tersebut adalah:
1. Membuat sistem pemetaan mengenai potensi yang dimiliki di setiap daerah dan usaha masyarakat yang berkembang serta kemungkinan pengembangan dan penerapan teknologi di daerah tersebut.
2. Dibentuk lembaga-lembaga penelitian yang merupakan gabungan berbagai disiplin ilmu, yang terdiri dari mahasiswa, mahasiswa pasca sarjana, serta dosen, yang dipayungi oleh pemerintah daerah. Sehingga akan terbentuk sinergi antara pemda dan kaum ilmuan untuk bersama-sama mengembangkan potensi daerah. Lembaga-lembaga penelitian tersebut mensintesis hasil-hasil penelitian mengenai issue yang berkembang untuk meningkatkan kualitas sumber daya, teknologi sederhana tepat guna untuk masyarakat, serta tenaga-tenaga terampil yang selanjutnya diaplikasikan ke masyarakat bersama program pemberdayaan masyarakat yang diterapkan secara kontinu.

Berikut ini adalah uraian dari langkah-langkah di atas:
Terdapat lembaga penelitian dan pengabdian yang melatih mahasiswa untuk mengembangkan ide dan kreativitasnya dalam keilmuan. Selanjutnya dibentuk kelompok-kelompok yang nantinya akan fokus pada satu bagian dari satu masalah yang kompleks yang ada di masyarakat. Kajian yang berupa penelitian dapat dikembangkan menjadi topik skripsi yang berkualitas dan memiliki daya saing bagi mahasiswa. Selanjutnya, kegiatan pengabdian masyarakat dapat diaplikasikan melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan di berbagai daerah.
Misalnya, mengkaji permasalahan pada suatu daerah tertentu yang memiliki industri rumah tangga berupa industri tahu tempe. Limbah yang tadinya dibuang begitu saja ke lingkungan yang menyebabkan pencemaran lingkungan dapat diolah atau dimanfaatkan menjadi suatu produk tertentu seperti biogas. Biogas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak tahu tempe yang diproduksi. Kemudian, kelompok yang lainnya mengkaji bagaimana solusi penggunaan formalin sebagai pengawet. Misalnya dengan memanfaatkan sekam padi yang merupakan hasil sampingan pertanian, yaitu dengan membuat asap cair sebagai pengawet tahu dari sekam padi tersebut. Sehingga menjadi suatu paket penerapan keilmuan bagi masyarakat. Hal ini akan menguntungkan produsen tahu dan masyarakat.

Adapun kelompok lainnya dapat mensosialisasikan pemisahan sampah rumah tangga berupa sampah plastik dan sampah organik, serta diadakan pelatihan untuk membuat kompos dari sampah organik. Selanjutnya sampah organik yang terkumpul diolah menjadi kompos. Kompos yang dihasilkan dapat dijual kepada petani untuk mengganti penggunaan pupuk sintetik yang harganya semakin mahal. Selain mengatasi masalah pencemaran lingkungan, langkah ini dapat membantu petani untuk mengurangi biaya pengeluaran untuk membeli pupuk. Masalah lingkungan lainnya yang terjadi di berbagai wilayah adalah kotornya jalanan umum karena kotoran kuda dari cidomo. Masalah ini semakin lama semakin tidak diperhatikan. Mahasiswa dapat merancang alat khusus untuk menampung kotoran kuda selama digunakan sebagai penarik cidomo. Kotoran kuda tersebut dikumpulkan di suatu tempat untuk dijadikan kompos.

Untuk wilayah pesisir dapat dikembangkan pengolahan ikan, rumput laut, lobster, dll yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Dan begitu banyak alternatif ide dan gagasan kreatif yang saling terkait satu dengan yang lain yang membutuhkan keilmuan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu.

Kajian-kajian tersebut menjadi satu paket share untuk masyarakat yang sebenarnya tidak sulit untuk diaplikasikan asal didukung oleh lembaga dan pemerintah. Karena hal terpenting yang dibutuhkan sebenarnya adalah aware dan care. Yang akan berbuah langkah konkret dari kaum terpelajar untuk masyarakat yang lebih baik.

Sumber data: program pembangunan jangka pendek pemerintah provinsi NTB 2009


*penulis adalah mahasiswa Univ. Mataram
-essay ini ditulis untuk memenuhi syarat MITI-Award tahap II dan berhasil menjadi essay terbaik wilayah Jabalnusra-
READ MORE - Paket Share Keilmuan Untuk NTB Yang Lebih Baik

Kembali ke Daerah, Membuka aneka Peluang

Oleh: MInarni

Tulisan ini dilatar belakangi oleh masalah keterbelakangan daerah-daerah, disparitas ekonomi dan pembangunan, serta ketidakmampuan masyarakat daerah untuk keluar dari masalah kesejahteraan dan kemiskinan berkaitan dengan mahasiswa pasca pendidikannya yang seharusnya berkontribusi pada pengembangan itu. Beberapa masalah mahasiswa pasca pendidikannya diidentifikasi sebagai berikut, pertama ialah brain drain.

Mungkin kita sering mendengar istilah brain drain. Brain drain digunakan untuk menggambarkan seorang anak bangsa yang meninggalkan negara asalnya yang dimanfaatkan oleh asing. Tepatnya menurut Agung Budiyono1 brain drain adalah kegiatan dimana seorang anak bangsa setelah sukses (ataupun dalam proses pensuksesan) dimanfaatkan oleh asing untuk kemajuan asing. pengertian ini sebenarnya menunjukkan sebuah migrasi kaum intelektual keluar negeri. (menuntut ilmu tanpa unsur dimanfaatkan tidak termasuk ke dalam pengertian ini).

Setiap tahun ada ribuan bahkan puluhan ribu mahasiswa yang berhasil menyelesaikan pendidikannya, yang kemudian bergelar sarjana. Negeri kaya akan penduduk, alam maupun budaya ini begitu banyak memiliki persoalan besar. Salah satunya adalah sumber daya manusia yang melimpah dalam segi jumlah, dengan pengetahuan dan ketrampilan yang belum memadai secara merata. Mahasiswa yang hanya berjumlah dua persen dari penduduk Indonesia merupakan angka yang sangat kecil dibandingkan negara lain. Dan merupakan aset utama pembangunan bangsa.

Sedikitnya jumlah tersebut harus diberikan pemetaan yang jelas sebab jika tidak aset berharga yang seharusnya menjadi masukan bagi negara justru menjadi beban dan bumerang. Seperti yang akan dikemukakan pada alinia selanjutnya atau juga seperti yang telah diungkapkan di atas mengenai brain drain. Penggunaan istilah brain drain juga bisa terjadi di negeri sendiri tanpa adanya migrasi ke luar negeri. Pemanfaatan intelektual dan orang-orang terbaik di negeri ini pada perusahaan-perusahaan kepemilikan asing yang menyedot kekayaan negeri sendiri bisa dikatakan “brain drain in own country. (Hari Primadi)2

Orang-orang terbaik tersebut mulai direkrut dari magang perguruan tinggi yang melalui berbagai tahapan seleksi, ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang terpilih adalah mahasiswa terbaik dan potensial. Yang selanjutnya kerap terjadi perekrutan tetap, mahasiswa yang telah meraih sarjana mengabdi pada perusahaan tersebut.

Mengapa hal ini dianggap merugikan bangsa selain kepemilikan asing itu sendiri? Jawabannya ialah sebab, orang-orang terbaik yang seharusnya dapat berkontribusi bagi bangsa ini justru dipekerjakan bagi kepentingan asing meskipun di negerinya sendiri.
Kedua, disisi lain orientasi pendidikan yang menekankan pada penyiapan kerja menyebabkan pengangguran sarjana meningkat karena rendahnya daya serap bursa kerja dalam arti khusus. Kesalahan orientasi ini pula banyak sarjana yang mempunyai tujuan untuk menjadi PNS atau bekerja pada perusahaan maupun institusi-institusi. Mereka rela menganggur sampai beberapa saat untuk memperoleh pekerjaan yang dianggap sesuai hingga kesana kemari dalam pengajuan.

Menurut Almasdi Syahza3, ada sekitar 460 SK PNS di Riau pra-otonomi yang tidak diambil oleh yang bersangkutan, karena penempatan yang jauh di daerah. Saat itu penetapan SK masih terpusat dari propinsi sehingga pemerintah kurang mengetahui kondisi calon pegawai. Sedangkan pasca pengelolaan SK di kabupaten, hal tersebut tidak begitu nampak. Namun, ada kecenderungan pegawai enggan dan kadang menunda turun tugas. Masih menurutnya bahwa Riau yang dinyatakan kekurangan guru sekitar 16.000 dan baru akan terpenuhi secara keseluruhan pada tahun 2010 hal tersebut tidaklah benar karena berdasarkan penelitian yang telah ia lakukan bahwa sebenarnya ini hanya mengenai distribusi tenaga. Sebab ditemukan banyak guru menumpuk di ibukota-ibukota kabupaten.

Masalah mahasiswa pasca pendidikaannya lainnya yakni yang ketiga, banyak mahasiswa (sarjana) yang tidak bekerja pada bidangnya. Seorang sarjana dari FMIPA akhirnya mengajar, mahasiswa fakultas pertanian berprofesi menjadi wartawan, dan lain sebagainya. Hal ini akibat dari kurangnya ketrampilan dalam memasuki dunia kerja yang dapat disebabkan oleh disorientasi tujuan pendidikan, kesalahan menetapkan kebutuhan bursa kerja dengan program studi yang dibangun, rendahnya kualitas pengajar dan sistem pengajaran, dan lain sebagainya.

Dari keseluruhan tipe permasalahan yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa mahasiswa masih berorientaasi pada apa yang telah ada, bukan pada mempelopori ketiadaan sehingga intelektualitas, wawasan keilmuan, kritisme dan inovatisme yang selama ini dimiliki tidak dapat dikembangkan. Dan jika dinilai secara menyeluruh, kebanyakan pilihan tersebut mengarah pada titik perkotaan.sebab daerah-daerah tidak memiliki kriteria seperti yang sebutkan. Ternyata benar seperti yang dinyatakan oleh Ayi Fahmi3 banyak mahasiswa yang sebagian besarnya berasal dari daerah enggan untuk kembali ke daerah asal meskipun dengan alasan yang mungkin cukup jelas seperti kebutuhan, penghargaan, akses fasilitas dan layanan, akses pengembangan diri, mencari pengalaman hingga hanya pada alasan sudah enjoy.

Disisi lain masyarakat tidak beruntung di negeri ini bak melihat sebuah pemandangan indah di kristal dan berada pada kotak zamrud, yang dengannya setiap hari mereka menatap kehijauannya yang kian kering, menghirup udaranya yang kian sesak dan mencium bau tanahnya yang semakin gersang. Kekayaan yang mereka miliki harus mereka bayar untuk menikmatinya dan pada saatnya mereka menunggu sampahnya jika orang yang memegang kekayaan tersebut mengembalikan padanya. Namun, masih ada yang tertawa girang kala mereka bekerja pada barang yang mereka miliki sendiri lalu mendapat bayaran tak seberapa.

Ada banyak potensi daerah yang tidak terkembangkan dengan optimal karena kurangnya pengetahuan masyarakat. Kekayaan yang seharusnya dapat dimanfaatkan bagi masyarakat dengan seluas-luasnya justru menjadi sumber daya tidur. Saking besarnya potensi kekayaan itu hingga negeri ini dijuluki sebagai zamrud kkhatulistiwa. Sebut saja satu pulau atau daerah yang ada di negara kepulauan ini, maka kita akan menemukan berbagai karakteristik potensi daerah tersebut meski ia jauh di hujung perbatasan.
Sudah saatnya kekayaan ini kita miliki seutuhnya dan kelola sendiri. Tidaklah kali ini kita membahas tentang penjajahan ekonomi asing terhadap hak bangsa ini lalu menuntut privatisasi tetapi berkaitan dengan banyaknya kekayaan yang telah dicuri. Permasalahan tersebut terlalu besar dan jauh dari jangkauan (saya pribadi) Maka yang lebih utama ialah kita harus memanfaatkan sumber daya tidur yang belum dikembangkan oleh anak daerah sendiri. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan yang saya rekomendasikan mengapa anak daerah (khususnya mahasiswa) harus mengembangkan sendiri daerahnya.

Disinilah tugas mahasiswa tersebut. Kalau tidak kembali ke daerah? Maka siapa lagi yang akan membangun daerah. Ketahanan nasional akan tangguh jika daerah-daerah sebagai basis juga kokoh dan apakah sumbangan terbaik bagi pembangunan bangsa ini? Itulah keberhasilan pembangunan daerah.

Jika diibaratkan mahasiswa dalam pembuatan minyak dari santan kelapa maka mahasiswa itulah minyaknya dari jutaan pemuda Indonesia, layaknya minyak dari air dan tahi lala dari keseluruhan jika dipisahkan. Ia entitas pembangunan, perubah, pembangun, kunci penggerak, pioner alternative, kantong pembinaan, penerus dan akhirnya sebagai pewaris (pengganti).

Maka jika ingin merubah suatu bangsa, gerakkanlah kunci utamanya dan segala hal akan dapat dilakukan. Dan kita telah membaca sejarah bahkan menjadi saksi bahwa pemuda (mahasiswa) telah menjadi pelopor dan motor perubahan bagi bangsa ini. Berbagai kebangkitan di belahan duniapun telah dicatatnya, reformasi bahkan revolusi.
Mahasiswa daerah jika kembali ke daerahnya adalah yang paling tepat sebab ia selama ini dekat dengan lingkungan alam maupun sosialnya, hingga tentu ia dapat lebih memahami apa saja potensi dan kondisi khusus daerah tersebut, juga pemahaman akan cara, tingkatan dan kemampuan pikir masyarakatnya.

Mengembangkan daerah sendiri tidak berarti kita harus kembali ke kampung halaman dan menetap disana, tapi lebih luas dari pengertian itu. Yakni kita menerapkan ilmu pada daerah yang sesuai dengan kontribusi keilmuan yang dimiliki. Misalnya saja seorang sarjana kelautan yang berasal dari daerah Jambi tidak mesti kembali ke Jambi jika Jambi sendiri tidak memiliki wilayah kelautan yang strategis dan urgen untuk dikembangkan. Daerah Riau Kepulauan lebih sesuai dengan kompetensi yang ia miliki dalam hal ini.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk berkontribusi di daerah, apapun latar belakang pendidikannya. Mahasiswa dengan latar belakang ilmu pendidikan dan keguruan jelas sangat dibutuhkan di daerah-daerah karena sekolah-sekolah yang ada biasanya hanya memiliki beberapa orang guru yang tidak memadai dengan perbandingan siswa, mahasiswa dari ilmu pertanian juga jelas sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena struktur masyarakat daerah Indonesia yang masih dominan oleh pertanian. Begitu pula dengan mahasiswa dari ilmu sosial politik yang tidak melulu harus di kota dalam bingkai kajian urbanisasi masyarakat perkotaan atau kepemimpinan politik praktis namun juga bisa ke daerah untuk memberi penyadaran akan politik dan manajemen aparat kantor desa misalnya, seorang dari teknik bisa membantu bagaimana membangun penyaluran air ke rumah-rumah, atau jika tidak mampu dalam pembangunan langsung tersebut. Mahasiswa yang telah membaca kebutuhan masyarakat dan peluang pengembangannya dapat hanya sebagai fasilitator komunikasi dengan pemerintah, maupun jaringan-jaringan lain yang dikenal.

Masyarakat daerah bukanlah bodoh sama sekali, tetapi mereka hanya tidak tahu bagaimana memulainya. Maka jika pengetahuan mahasiswa belum dilengkapi oleh pengalaman yang memadai, sesungguhnya masyarakat memiliki hal tersebut. Masyarakat daerah perlu orang yang dapat menggerakkan kemampuan-kemampuan mereka, diberdayakan, didampingi hingga suatu saat mereka akan mandiri.

Di daerah juga banyak peluang usaha yang dapat kita bangun, tidak hanya mengolah hasil daerah yang kemudian membantu ekonomi daerah, tetapi juga kita bisa membuka berbagai usaha kebutuhan-kebutuhan daerah semisal pemasok atau agen yang sebelumnya telah didapat melaui banyak link saat menempuh pendidikan dahulu. Maka tidak akan sama kepuasan yang akan diperoleh ketika berhasil membangun dan memberdayakan daerah meski orang-orang yang sama dulu, kini di perkotaan mendapat gaji dan fasilitas maupun kedudukan tinggi.

Siapa lagi yang akan mencintai daerah, kalau bukan putera daerah sendiri. Siapa lagi yang akan membangun daerah, jika bukan putra daerah sendiri. Dengan kebersihan niat, tingginya semangat, sungguh-sungguhnya tekad dan gigihnya usaha dengan kesamaan tujuan dan gerakan menyeluruh maka pemerataan kesejahtaraan hidup masyarakat dan pembangunan daerah adalah milik Indonesia.



Keterangan:
1. www.kusmayantokadiman.kompasiana.com/../brain-drain–jangan-terkecoh. 3 Augustus 2009 -. Diakses Pkl 11:56 am
2. Hari Primadi. Nasionalisme Ekspatriat Melayu. Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Komisariat Kuala Lumpur
3. Almasdi Syahza. Seorang professor bidang Ekonomi Pembangunan di Universitas Riau, bergiat di Lembaga Penelitian Universitas Riau dan Tim Akreditas Riau. Data penulis dapatkan melalui wawancara pada 29 Agustus 2009


*penulis adalah mahasiswa Univ. Riau
-essay ini ditulis untuk memenuhi persyaratan MITI-Award tahap II dan berhasil menajdi essay terbaik wilayah Sumatera-
READ MORE - Kembali ke Daerah, Membuka aneka Peluang

J-VEFo (Jakarta Voice of Education Forum) Sebagai Upaya Menjawab Permasalahan Pendidikan Ibu Kota

Oleh: Alpiah Pijri*

Peranan mahasiswa dalam pembenahan dan juga perbaikan bangsa adalah fakta sejarah yang telah sama-sama disaksikan bangsa Indonesia. Mulai dari pergerakan tahun 1966, 1998, hingga di masa kini mahasiswa senantiasa setia menjadi pengawal perbaikan bangsa. Tentunya kemanfaatan dan juga dampak positif pergerakan-pergerakan mahasiswa ini seharusnya dapat dirasakan terus oleh bangsa Indonesia dan tidak berakhir hanya dengan wacana, slogan, atau perang kata di media. Peranan mahasiswa dalam menyuarakan permasalahan rakyat dan menjadi bagian dari solusi masalah-masalah tersebut menjadi tuntutan dan amanah yang harus diemban. Sehingga, atribut kemahasiswaan tidak hanya sekedar simbol yang kering dari pengabdian.

Wajah Indonesia tentunya tercermin dari wajah Jakarta sebagi ibu kota negara. Jakarta sebagai ibu kota negara tentunya memiliki berbagai macam permasalahan dibalik gemerlap dan kemegahannya, mulai dari masalah sosial, transportasi,kesehatan,pendidikan,kependudukan, dan masih banyak lagi. Permasalahan-permasalahan ini tentunya patut untuk disuarakan dan dicarikan penyelesaiannya. Disinilah peran mahasiswa, khususnya mereka yang mengenyam pendidikan di Jakarta, untuk menjadi garda terdepan dalam menyuarakan masalah-masalah tersebut dan menjadi bagian dari solusinya. Ketika mahasiswa di Jakarta telah bersuara lantang dan bekerja untuk perubahan tentunya menjadi sumbangan semangat bagi perjuangan mahasiswa di daerah-daerah lainnya. Apalagi akses informasi dan sarana yang lebih mendukung di wilayah Jakarta menjadi modal penting yang menyebabkan perjuangan tersebut tidak bisa ditawar lagi.

Universitas Negeri Jakarta (UNJ) adalah sebuah perguruan tinggi yang secara de facto merupakan satu-satunya universitas negeri yang seluruh kampusnya berlokasi di Jakarta. Atau dengan kata lain,UNJ adalah satu-satunya universitas negeri di ibu kota negara ini. Tentunya, peran mahasiswa UNJ menjadi sangat strategis dalam menyuarakan permasalahan rakyat, khususnya masyarakat ibu kota, dan menjadi bagian dari solusinya. Berdasarkan sejarah, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merupakan wajah serta nama baru dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta. Tentunya latar belakang sejarah ini tidak bisa dipisahkan dari ruh UNJ sebagai sebuah institusi pendidikan. Masa lalunya sebagai IKIP membuat UNJ menjadi universitas yang berfokus pada permasalahan pendidikan. Hal ini tentunya menjadi dasar bagi perjuangan mahasiswanya yang seyogyanya juga menjadikan pendidikan sebagai sasaran perjuangan utama.

Masalah pendidikan di Jakarta tentunya memiliki perbedaan dari daerah-daerah lain. Tentunya hal yang konyol dan sangat memalukan jika masalah pendidikan di Jakarta masih seputar bangunan sekolah yang roboh, guru yang berbulan-bulan tidak digaji, atau jumlah siswa yang tidak lulus ujian nasional melebihi jumlah di daerah lain. Hal ini didasari pada peran, posisi, dan keuntungan strategis menjadi ibu kota negara. Akan tetapi, seperti sebuah paradoks, jika di daerah lain gaji guru yang rendah menjadi masalah, di Jakarta gaji guru yang baik masih berpotensi menimbulkan masalah. Jika di daerah lain jumlah guru yang sedikit merupakan masalah, di Jakarta jumlah guru yang melimpah juga masih menyisakan masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang khusus berkomitmen menangani masalah-masalah pendidikan ibu kota.

J-VEFo (Jakarta Voice of Education Forum) adalah sebuah forum yang ditawarkan dan diharapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan pendidikan di Jakarta. Mahasiswa UNJ tentunya yang akan membidani dan mengelola lembaga ini. Dengan fakultas-fakultas yang seluruhnya menawarkan program studi pendidikan bahkan satu fakultas khusus yang berfokus pada pendidikan, yaitu Fakultas ilmu Pendidikan (FIP),membuat UNJ memiliki sumber daya mahasiswa yang cukup dan mumpuni dalam membantu penanganan permasalahan pendidikan. Mahasiswa-mahasiswa tersebut tentunya memerlukan sebuah wadah atau forum untuk menganalisis permasalahan pendidikan yang ada, mencari ide dan peluang untuk mengupayakan penyelesaiannya, bahkan menjadi kader-kader pengawal kebijakan pendidikan Jakarta.

Untuk mengetahui peran yang dapat diambil J-VEFo terhadap masalah pendidikan Jakarta, tentunya penting untuk mengkaji terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang ada. Masalah-masalah tersebut umumnya bersumber pada kebijakan yang diberlakukan mengenai sistem pendidikan, kesejahteraan guru, serta masalah-masalah lain yang dipengaruhi oleh posisi Jakarta sebagai ibu kota. Dari analisis permasalahan-permasalahan tersebut dapat dibuat gagasan-gagasan yang berujung pada penanganannya. Sehingga forum ini memiliki efektifitas dalam bekerja dan posisi tawar yang baik untuk bisa didengar para pembuat kebijakan pendidikan di Jakarta.
Permasalahan pendidikan yang pertama berkaitan dengan sistem pendidikan di Jakarta. Perkembangan kurikulum yang diberlakukan tentunya menjadikan Jakarta sebagai wilayah percontohan dalam penerapan kurikulum tersebut. Hal ini tentunya berpengaruh pada kesiapan guru serta siswa dalam menjalankan sistem pendidikan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji terlebih dahulu kebijakan-kebijakan pendidikan yang akan diberlakukan. Di sinilah peran J-VEFo di tuntut, yaitu untuk menganalisis dan mendiskusikan segala kebijakan tersebut sebelum diterbitkan ke ruang publik. Analisis dan diskusi ini dimaksudkan untuk mencari hal-hal positif yang dapat dikembangkan atau bahkan kekurangan-kekurangan yang dapat menjadi celah bagi munculnya ketidakefektifan pada pelaksanaan kebijakan tersebut nantinya. Jika segala kebijakan pendidikan telah dikonsultasikan dan dipertimbangkan dengan lebih menyeluruh dianggap dapat mengurangi kemungkinan munculnya masalah lain yang berdampak pada kualitas pendidikan di Jakarta.

Selain yang berhubungan dengan kebijakan sistem pendidikan, permasalahan yang selanjutnya adalah mengenai kesejahteraan guru. Menteri pendidikan, Bambang Sudibyo, dalam kutipan wawancara detik.com menyatakan bahwa saat ini gaji guru di Jakarta sudah mencapai 2,5 juta per bulannya (http://www.detiknews.com/read/2009/08/03/150632/1176564/10/gaji-guru-jakarta-naik-rp-25-juta-keterlaluan-). Beliau melanjutkan bahwa keterlaluan jika sekolah masih menarik pungutan dengan kondisi gaji guru yang sudah dianggap mencukupi tersebut. Seperti yang telah di kemukakan sebelumnya bahwa masalah kesejahteraan guru adalah masalah utama yang mendesak untuk dibahas. Khususnya di Jakarta, kesejahteraan guru dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain, akan tetapi hal ini masih menimbulkan beberapa permasalahan baru. Diantara permasalahan-permasalahan tersebut, yang paling penting untuk diperhatikan adalah masalah profesionalisme guru.

Dua permasalahan yang berkaitan dengan profesionalisme guru meliputi masalah pendidikan guru hingga disiplin dan fokus kerja. Mengenai pendidikan guru di Jakarta dapat dianalisis pertama kali dari persoalan kesejahteraan. Di Jakarta, seperti yang telah dinyatakan oleh Menteri Pendidikan Nasional, guru mendapatkan bayaran yang cukup. Hal ini menjadikan guru sebagai profesi yang menjanjikan dan akhirnya banyak diminati. Dampak yang kemudian timbul adalah munculnya guru-guru yang sebenarnya tidak berlatar belakang pendidikan yang sesuai namun “memberanikan diri” untuk menjadi guru. Tentunya hal ini berpengaruh pada kompetensinya sebagai guru (kompetensi pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial (PP no.19 tahun 2005)), yang berarti tidak hanya soal pengetahuan mengenai pelajaran yang diajarkan, akan tetapi juga bagaimana cara mengajarkan dan bersikap sebagai seorang guru. Hal lain adalah mengenai disiplin dan fokus kerja para guru, yang lagi-lagi berkaitan dengan kesejahteraan. Seperti yang telah diketahui bahwa saat ini marak berita mengenai sertifikasi bagi guru. Guru yang telah mengikuti proses sertifikasi tentunya mendapatkan keuntungan tambahan khususnya dalam hal insentif. Keadaan ini dikhawatirkan dapat membiaskan fokus guru dalam mengajar sebagai tugas utamanya, sehingga mereka dapat berpotensi menomorduakan tugas utamanya tersebut. Hal-hal inilah yang akan menjadi bagian pembahasan J-VEFo. Melalui forum ini, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah Jakarta, seperti contoh-contoh diatas, dapat dikaji dan dilihat sisi positif dan negatifnya.

Permasalahan pendidikan berikutnya adalah yang berkaitan dengan posisi Jakarta sebagai ibu kota Negara. Sebagai ibu kota tentunya Jakarta menyerap banyak budaya berpikir yang berasal dari Negara-negara lain dan tentunya menjadi standar ukur Indonesia untuk dibandingkan dengan Negara lain. Adaptasi bahkan adopsi pemikiran ini juga berpengaruh terhadap pendidikan di Jakarta. Hal ini yang mungkin menjadi penyebab munculnya konsep homeschooling sampai sekolah berstandar internasional. Keberadaan homeschooling yang marak saat ini tentunya harus banyak dikaji terlebih dulu mengenai sistemnya, kesesuaiannya dengan budaya di Indonesia, hingga persoalan psikologi siswanya. Selain itu juga perlu diadakan kajian yang lebih mendalam mengenai efektifitas sekolah, sehingga didapati jawaban mengapa homeschooling menjadi alternative yang banyak diminati. Bahkan dari berita yang ditulis Kompas.com bahwa telah diadakan festival homeschooling Indonesia II pada 18-19 Juli 2009 lalu (http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/17/20203424/festival.homeschooling.indonesia), yang dapat dilihat sebagai sebuah perkembangan sistem pendidikan ini. Selain itu, keberadaan sekolah-sekolah berstandar internasional perlu mendapat kajian yang lebih utuh, agar sekolah-sekolah ini benar-benar mampu dan siap bersaing secara internasional. Kembali peran J-VEFo sebagai forum kajian mahasiswa yang senantiasa mengawasi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang diharapkan mampu membantu mencarikan solusi bagi permasalahan pendidikan Jakarta.

Contoh-contoh permasalah yang telah diuraikan hanyalah sedikit dari persoalan pendidikan yang dihadapi Jakarta. Masih banyak lagi permasalahan yang menunggu untuk diselesaikan, apalagi yang bersentuhan dengan permasalahan sosial. Sebagai contoh permasalahan jumlah anak jalanan yang ada di Jakarta. Tentunya amat diperlukan data sebenarnya mengenai jumlah anak jalanan di Jakarta yang bersekolah atau tidak. Dari data yang diperoleh mengenai anak yang putus sekolah di Jakarta tahun 2008 menunjukkan bahwa di tingkat SMA jumlah anak putus sekolah sebanyak 1.253 orang, SMK 3.188 orang, SMP 1.947, dan SD 571 orang (http://metro.vivanews.com/news/read/25302-ribuan_anak_ibu_kota_putus_sekolah). Dari data ini bisa dilihat alasan anak-anak tersebut putus sekolah serta berapa diantara mereka yang merupakan atau yang kemudian menjadi anak jalanan. Sehingga data yang tersaji tidak hanya sekedar data, akan tetapi dijadikan dasar mencari solusi, seperti keberadaan program pendidikan gratis atau pemberdayaan program pendidikan luar sekolah. Diskusi dan kajian-kajian di forum-forum mahasiswa tentunya bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk mencari solusi masalah ini.

Dari permasalahan-permasalahan pendidikan, yang beberapa contohnya telah disebutkan tadi, ide untuk mendirikan satu forum mahasiswa bernama Jakarta Voice of Education Forum (J-VEFo) muncul. Sangat disadari bahwa forum seperti ini bukanlah hal baru khususnya di UNJ yang nota bene berlatar belakang kampus pendidikan. Akan tetapi, masih belum ada satu forum yang mapan dan diakui serta memiliki posisi tawar yang baik untuk didengar ide-idenya. Oleh karena itu, J-VEFo direncanakan mampu untuk diterima di tingkat pemegang kebijakan kampus sehingga mendapatkan dukungan dan efektif dalam menjalankan misinya. Program ini ditawarkan untuk dikelola oleh organisasi pemerintahan mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang secara legal dan formal diakui keberadaan serta otoritasnya.

Jakarta Voice of Education Forum (J-VEFo) adalah forum kajian mahasiswa yang membahas isu-isu seputar pendidikan yang berkembang di Jakarta khususnya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa untuk menjadi sebuah forum yang efektif diperlukan adanya sebuah pengakuan dan kemapanan organisasi. Hal ini memberikan kesadaran bahwa di awal forum ini harus berupaya menjadi “mitra” universitas dalam mengkaji masalah pendidikan. Sehingga, analisis permasalahan yang dibuat serta ide-ide yang disajikan dapat diperhitungkan Ketika kepercayaan dari lingkungan universitas telah didapatkan, akan lebih mudah bagi forum ini untuk berbicara pada lingkup yang lebih luas.

Selain mengadakan kajian dan penelitian mengenai permasalahan pendidikan, forum ini juga dapat menjadi inisiasi bagi dibentuknya sebuah lembaga pendidikan bagi masyarakat tidak mampu. Di bawah naungan dan arahan universitas, diharapkan forum ini mampu menjadi motor pengelola lembaga pendidikan ini. Mempunyai lembaga pendidikan atau sekolah binaan bukanlah hal baru bagi UNJ atau IKIP Jakarta sebelumnya. Akan tetapi dalam perkembangannya sekolah-sekolah tersebut menjadi sekolah yang mapan dan tentunya tidak dapat dilepaskan dari orientasi keuntungan. Dengan J-VEFo diharapkan UNJ dapat mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang jauh dari motif ekonomi dan diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu, sebagai pengejawantahan salah satu dari Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian terhadap masyarakat.

Pendidikan adalah aspek dalam kehidupan yang bahkan menjadi salah satu sumber dari kehidupan itu sendiri. Syafrudin (2004:228) mengatakan bahwa pendidikan merupakan core competence dan inti kehidupan suatu masyarakat. Lanjutnya, seluruh problematika bangsa dan manusia di dunia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Jadi, bukanlah hal yang berlebihan jika masalah pendidikan menjadi fokus sebuah bangsa. Bukanlah menjadi hal yang mengherankan jika di negeri ini tiap tahunnya masalah anggaran pendidikan, kualitas murid, sistem pendidikan, dan permasalahan kelulusan ramai diributkan. Sebagai universitas yang merupakan metaforfosis dari sebuah institut keguruan, bukanlah hal yang aneh jika UNJ menitikberatkan perhatiannya pada masalah pendidikan. Demikian halnya para mahasiswanya, hendaknya menjadikan permasalahan pendidikan sebagai isu utama dari perjuangannya. Sehingga kerja nyata mahasiswa Universitas Negeri Jakarta lebih dapat dirasakan dikarenakan perjuangan mereka berada pada domain keilmuan mereka yang tentunya merupakan modal utama dalam menjawab permasalahan, khususnya bagi pendidikan di ibu kota yang merupakan tempat dimana mereka berkarya dan melihat permasalahan-permasalahan tersebut secara lebih nyata.

Referensi:
Syafrudin, Lc, Amang. 2004. Muslim Visioner. Depok : Pustaka Nauka
http://www.detiknews.com/read/2009/08/03/150632/1176564/10/gaji-guru-jakarta-naik-rp-25-juta-keterlaluan-, diunduh 10 Agustus 2009.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/17/20203424/festival.homeschooling.indonesia, diunduh 10 Agustus 2009.
http://metro.vivanews.com/news/read/25302ribuan_anak_ibu_kota_putus_sekolah, diunduh 10 Agustus 2009.

* penulis adalah Mahasiswi Univ, Negeri Jakarta
-essay ini ditulis untuk memenuhi syarat MITI-Award tahap II dan berhasil menjadi essay terbaik wilayah Jabaja-
READ MORE - J-VEFo (Jakarta Voice of Education Forum) Sebagai Upaya Menjawab Permasalahan Pendidikan Ibu Kota
Related Posts with Thumbnails

Recent Post

Orang yang kritis akan merespon apa yang telah dibacanya..sudahkah anda merespon artikel di miti...?

Arsip Artikel

Update Artikel MITI via Email Gratis

Untuk update Artikel cerdas, cukup masukkan email anda disini:

Delivered by FeedBurner

 
free counters