miti bar

Tuesday, April 20, 2010

Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 2 dari 2)

Baca bagian pertama

Apakah Civil Society sepadan dengan Masyarakat Madani?
Mencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena  adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita.

Banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada  tradisi Arab-Islam sedang  civil society tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.[9]

Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, ehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham  bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti  peradaban atau kebudayaan tinggi.[10]

Penggunaan istilah masyarakat madani  dan civil society di Indonesia sering disamakan  atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.

Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Allatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan ad-Din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-y-n. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah ad-Din (Syari’ah Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua kelompok (kaum) di Madinah.[11]

Menilik pengalaman sosio-historis Islam, masyarakat madani merupakan refresentasi dari masyarakat Madinah yang diwariskan Nabi Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama terkemuka, disebut sebagai ”masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang pernah dirintis Nabi SAW”.[12]

Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara dalam perspektif Islam bukanlah sekedar alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja sebagaimana halnya liberalisme-kapitalisme akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan individu, jamaah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “bahwa sejak zaman Nabi Muhammad, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Muhammad sebagai kepala Negara”.[13]

Penutup
Secara historis antara konsep civil society dengan masyarakat madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau (sang Nabi) memperjuangkan kedaulatan, agar seluruh kelompok di kota Madinah terbebaskan (terjamin hak-haknya) serta ummatnya (Muslim) leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum yang disepakati bersama (piagam Madinah).

Masyarakat madani secara ringkas dapat didefiisikan sebagai masyarakat yang beradab. Kata madani terambil dari kata ad-Dien (bhs arab, berarti; undang-undang, peraturan, hukum). Dari kata ad-Dien ini pula muncul kata madinah-madyan-tamaddun yang berarti ’kota’ (bhs yunani; polis), hingga berarti ’peradaban’. Dari kata madinah muncul kata dayyan (pemimpin, kepala ’kota atau peradaban’). Singkatnya masyarakat madani dapat disebut segagai masyarakat yang berlandaskan etika, moral, hukum, keadilan dan semangat demokrasi (bermusyawarah/syuro).

Madani merupakan suatu masyarakat yang berkomitment pada nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas dan ber-demokrasi. Tanpa demokrasi (musyawarah, kontarak sosial) tidak akan tercipta masyarakat madani. Madani merupakan suatu keadaan dimana setiap elemen masyarakat bebas mengekspresikan ’keberagamannya’ sesuatu dengan yang telah disepakati bersama (kontrak sosial). Keberagaman (pluralitas) entah itu berupa agama, ideologi, kepercayaan, budaya dan etnis justru sangat dihargai dalam masyarakat madani.

Kata kunci dalam masyarakat madani adalah toleransi. Toleransi antarsetiap elemen masyarakat akan menciptakan suatu keharmonisan.di atas pondasi toleransi itulah dibangun sebuah masyarakat bermoral, beradab (’beradab’ memberikan visi bahwa; nature dari manusia adalah pluralitas dan mengarah pada konflik, oleh karena itu, sebisa mungkin konflik dan perbedaan di sublimasi lewat musyawarah/kesepakatan bersama, tidak lewat ’pertumpahan darah’, politik tidak ’berdarah-darah’ namun diselesaikan dengan duduk bersama musyawarah).

Masyarakat madani pada awalnya tidak memiliki landasan teologis Islam.
Konsep civil society ada persamaan dan ada juga perberbedaannya dengan konsep masyarakat madani. Adam Ferguson seorang penulis Inggris dengan bukunya An Essay on history of Civil Society (1776). Gagsan tentang civil society kemudian dikembangkan oleh para pemikir barat seperti Thomas Hobbes, John Lock, J.J Rouesseau, Karl Mark, Antonio Gramschi, dan Hegel. Para pemikir ini walau berbeda dalam konsep sifat dasar (nature) manusia (ada dengan pendekatan konflik, keteraturan hingga pendekatan normal) para pemikir barat tersebut sama-sama mengarah pada ’social contract’ (prinsip kontrak sosial). Dan memang sejak awalnya konsep masyarakat madani (kontak sosial) di tujukan untuk membatasi peran negara (state) yang cendrung korup, absolutis dan represif. Persamaan antara konsep civil society dengan masyarakat madani ialah sama-sama menjunjung tinggi ”kontrak sosial”.

[9] Achmad Jainuri, Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan kasus tentang sikap Budaya, Agama, dan Politik, kata pengantar untuk Sufyanto, Op.Cit.
[10] Mulyadhi Kertanegara, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam. Media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.
[11] Lihat, S. M. N. Al-Attas. 2001. Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. Hal: 7
[12] Sangat Modern dalam tingkat komitmen, partisipasi, dan keterlibatan yang tinggi dari seluruh lapisan masyarakat, papar Robert N. Bellah, dalam bukunya Beyond Belief, 1976, hal; 150-151.
[13] Lihat, Syamsudin Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama, (Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “ISLAMIA” : Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, Januari – Maret 2007), hal : 42.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syamsudin. Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama, (Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “ISLAMIA” : Melacak Akar Peradaban Barat) Vol. III No. 2, Januari – Maret 2007.

Al-Attas, Syed. M. Naquib. 2001. Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.

Bellah, Robert N. 1967. Beyond Belief. .

Cox, Harvey. 1967. The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: The Macmillan Company.

Abdillah Azizy, A. Qodri. 2000. Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti. Jogjakarta, Pustaka Pelajar.

Lajar, Leo Laba. 1992. Sekularisasi dan Sekularisme: Otonomi Terhadap Allah, dalam Alex Seran, Iman dan ILmu: Refleksi Iman atas Masalah-Masalah Aktual, Yogyakarta : Kanisius.

Kertanegara, Mulyadhi. Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam. Media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan edisi 1 TH-xii/2002.

Seligman, Adam B. 1992. The Idea of Civil Society, New Jersedy, Princeton University Press.
 
Sufyanto. Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

Comments :

2 comments to “Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 2 dari 2)”

tapi memang harus ditegaskan, bahwa sumber legitimasi kekuasaan Islam setelah NabiMuhammad wafat, tidak berasal dari daulat Tuhan (Allah), nabi Muhammad sendiri pun menjadi kepala Negara madinah didaulat/dilegitimasi oleh semua masyarakat arab yg berbeda; kaum beriman, musyrik,kafir dan munafik. Legitimasi/kontrak sosial-politik dengan mereka. setelah Nabi wafat pun daulat/legitimasi kontrak sosial dilakukan. Kontak dengan Tuhan adalah menjalankan hukum kemasyarakatan dengan seadil-adilnya pada warga yang beragam kepercyaaan dan budaya.
da saya megapresiasi tulisan ini.
terima kasih,.wassalam..

Ihsan Abdul Aziz said...
on 

asslamualaikum, maaf sebelumnya kepada Ihsan Aziz, mohon diperbaiki kata "wassalam" nya, menurut ilmu yang pernah saya dapatkan kata itu mengandung arti yang tidak baik. terima kasih sebelumnya..

Unknown said...
on 

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails