miti bar

Friday, April 16, 2010

Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 1 dari 2)

oleh Dwi Zatmiko, Mahasiswa Ilmu Filsafat FIB UI
Tulisan ini juga dipublikasikan di buletin Ilmiy Digest milik Ilmiy UI

Perlu kita pahami, perbincangan seputar masyarakat madani (di Asia) sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, konsep masyarakat madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil (civil society) oleh beberapa pakar Sosiologi.

Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat madani dan kemunculan istilah masyarakat sipil.

Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris ’civil society’ yang mengambil dari bahasa Latin ’civilas societas’. Secara historis karya Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767) merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society). Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar konsep masyarakat model Marxisme. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas. Masyarakat sipil merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial yang monarkis, feodal ataupun borjuis) serta membatasi diri dari lingkaran negara.[1]

Konsep civil society lebih lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville.

Dari berbagai versi tentang konsep civil society tersebut, Asrori S. Karni dalam Ahmad Baso (1999) menyimpulkan ada 5 (lima) teori civil society yang ada di Barat :

Pertama, teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesaian dan peredam konflik dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan negara.

Kedua, teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama.

Ketiga, teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil).

Keempat, teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruhآ  harapan berarti terhadap entitas civil society. Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya, tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya.

Kelima, teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force) kekuatan negara, meng-counterآ  hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara.

Adapun Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah  Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, civil society dalam tatataran kelembagaan/organisasi  sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan.[2]

Apa yang melatar belakangi munculnya Civil Society?
Ide civil society muncul di Eropa antara abad ke-17 dan abad ke-18, ide itu muncul dari kondisi krisis dalam social order dan kebuntuan dalam paradigma tentang order itu sendiri.[3] Secara umum krisis di AEropa abad ke-17 meliputi; komersialisasi tanah, tenaga kerja, dan modal; pertumbuhan ekonomi pasar; abad penemuan/kebangkitan sains; hingga revolusi kontinental Inggris dan Amerika.[4]

Jadi, konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi [5] dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. Civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung yang menggantikan agama (gereja), dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.

Dengan demikian, civil society aslinya adalah bersifat sekularistik [6], yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme.

Bagaimana dengan konsep Masyarakat Madani?
Masyarakat madani merupakan istilah bahasa Indonesia. Muncilnya istilah ’masyarakat madani’ di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa istilah ”masyarakat madani” sebagai terjemahan  “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium  nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995.

Dewasa ini, di Indonesia istilah masyarakat madani semakin banyak didengungkan, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Perkembangan wacannya  menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan  dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo Bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.[7]

Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran  Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia  termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada  artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.[8]

Namun, istilah masyarakat madani memiliki akar istilah bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab. Jadi, penelitian secara bahasa, latar belakang sosio-historis Islam atas istilah ’madani’ sangatlah penting untuk memahami dinamika (kemungkinan perubahan makna dari zaman ke zaman) serta penarikan simpul makna yang dikandungnya (relevan) saat ini.
 
[1] Lihat, Adam B. Seligman, The Idea of Civil Society, New Jersedy, Princeton University Press. 1992. Hal; 46-55.
[2] A. Qodri Abdillah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta (Kajian Historis-Normatif), dalam Ismail dan Mukti. Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2000. Pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan., dalm hal ini civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik  (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society  menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan  pada nilai dan kepercayaan. Yang mana menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep  durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas  bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim
[3] “…,the emergence of the idea of civil society in the later seventeenth and eighteenth centuries was the result of a crisis in social order and breakdown of eksisting paradigms of idea of order”. Op. Cit, Adam B. Seligman, hal ; 15.
[4] Ibid.
[5] Istilah ‘Sekularisasi’ dipakai mula-mula untuk menunjuk gerakan-gerakan politik tertentu dalam ‘Perjanjian Westfalen’ pada akhir ‘Perang Tiga Puluh Tahun’ (1646). Dinilai sebagai proses pendewasaan manusia untuk menjadi otonom dan tidak tergantung kepada kekuatan diluar dirinya sendiri. Istilah sekularisasi semula memang digunakan untuk pengalihan kepemilikan wilayah atau harta dari gereja kepada negara menjadi simbol pembebasan manusia modern dari kendali keagamaan. Berbicara mengenai masyarakat dan institusi-institusi dalam sejarah Barat-Modern, sekularisasi tampak di dalam ‘evakuasi’ (pemindahan) yang tidak hanya pada wilayah (tanah) dan harta, melainkan juga pengaruh atas pendidikan dan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, sekularisasi mempengaruhi kebudayaan secara total hingga bagian seni, sastra, filsafat yang semakin sekular. (Baca; Leo Laba Lajar, Sekularisasi dan Sekularisme: Otonomi Terhadap Allah, dalam Alex Seran, Iman dan ILmu: Refleksi Iman atas Masalah-Masalah Aktual, Yogyakarta : Kanisius, 1992. hal : 31).
[6] Sekularistik adalah ketika manusia mengalihkan perhatiannya dari dunia transenden-supranatural, menuju dunia ‘kini’ dan ‘disini’. Dengan kata lain, sekularistik merupakan pembebasan manusia dari kungkungan tradisi metafisis dan keagamaan. Istilah sekular berasal dari bahasa latin saeculum yang dapat diartikan sebagai ‘masa kini’ atau ‘dunia.’ ( Lihat, Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: The Macmillan Company, 1967. Hal : 17-20).
[7] Ibid.
[8] Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
 
Bersambung ke Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 2 dari 2)

Comments :

0 comments to “Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani, Apakah Sepadan? (Bag. 1 dari 2)”


Post a Comment

Related Posts with Thumbnails