Tulisan ini dilatar belakangi oleh masalah keterbelakangan daerah-daerah, disparitas ekonomi dan pembangunan, serta ketidakmampuan masyarakat daerah untuk keluar dari masalah kesejahteraan dan kemiskinan berkaitan dengan mahasiswa pasca pendidikannya yang seharusnya berkontribusi pada pengembangan itu. Beberapa masalah mahasiswa pasca pendidikannya diidentifikasi sebagai berikut, pertama ialah brain drain.
Mungkin kita sering mendengar istilah brain drain. Brain drain digunakan untuk menggambarkan seorang anak bangsa yang meninggalkan negara asalnya yang dimanfaatkan oleh asing. Tepatnya menurut Agung Budiyono1 brain drain adalah kegiatan dimana seorang anak bangsa setelah sukses (ataupun dalam proses pensuksesan) dimanfaatkan oleh asing untuk kemajuan asing. pengertian ini sebenarnya menunjukkan sebuah migrasi kaum intelektual keluar negeri. (menuntut ilmu tanpa unsur dimanfaatkan tidak termasuk ke dalam pengertian ini).
Setiap tahun ada ribuan bahkan puluhan ribu mahasiswa yang berhasil menyelesaikan pendidikannya, yang kemudian bergelar sarjana. Negeri kaya akan penduduk, alam maupun budaya ini begitu banyak memiliki persoalan besar. Salah satunya adalah sumber daya manusia yang melimpah dalam segi jumlah, dengan pengetahuan dan ketrampilan yang belum memadai secara merata. Mahasiswa yang hanya berjumlah dua persen dari penduduk Indonesia merupakan angka yang sangat kecil dibandingkan negara lain. Dan merupakan aset utama pembangunan bangsa.
Sedikitnya jumlah tersebut harus diberikan pemetaan yang jelas sebab jika tidak aset berharga yang seharusnya menjadi masukan bagi negara justru menjadi beban dan bumerang. Seperti yang akan dikemukakan pada alinia selanjutnya atau juga seperti yang telah diungkapkan di atas mengenai brain drain. Penggunaan istilah brain drain juga bisa terjadi di negeri sendiri tanpa adanya migrasi ke luar negeri. Pemanfaatan intelektual dan orang-orang terbaik di negeri ini pada perusahaan-perusahaan kepemilikan asing yang menyedot kekayaan negeri sendiri bisa dikatakan “brain drain in own country. (Hari Primadi)2
Orang-orang terbaik tersebut mulai direkrut dari magang perguruan tinggi yang melalui berbagai tahapan seleksi, ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang terpilih adalah mahasiswa terbaik dan potensial. Yang selanjutnya kerap terjadi perekrutan tetap, mahasiswa yang telah meraih sarjana mengabdi pada perusahaan tersebut.
Mengapa hal ini dianggap merugikan bangsa selain kepemilikan asing itu sendiri? Jawabannya ialah sebab, orang-orang terbaik yang seharusnya dapat berkontribusi bagi bangsa ini justru dipekerjakan bagi kepentingan asing meskipun di negerinya sendiri.
Kedua, disisi lain orientasi pendidikan yang menekankan pada penyiapan kerja menyebabkan pengangguran sarjana meningkat karena rendahnya daya serap bursa kerja dalam arti khusus. Kesalahan orientasi ini pula banyak sarjana yang mempunyai tujuan untuk menjadi PNS atau bekerja pada perusahaan maupun institusi-institusi. Mereka rela menganggur sampai beberapa saat untuk memperoleh pekerjaan yang dianggap sesuai hingga kesana kemari dalam pengajuan.
Menurut Almasdi Syahza3, ada sekitar 460 SK PNS di Riau pra-otonomi yang tidak diambil oleh yang bersangkutan, karena penempatan yang jauh di daerah. Saat itu penetapan SK masih terpusat dari propinsi sehingga pemerintah kurang mengetahui kondisi calon pegawai. Sedangkan pasca pengelolaan SK di kabupaten, hal tersebut tidak begitu nampak. Namun, ada kecenderungan pegawai enggan dan kadang menunda turun tugas. Masih menurutnya bahwa Riau yang dinyatakan kekurangan guru sekitar 16.000 dan baru akan terpenuhi secara keseluruhan pada tahun 2010 hal tersebut tidaklah benar karena berdasarkan penelitian yang telah ia lakukan bahwa sebenarnya ini hanya mengenai distribusi tenaga. Sebab ditemukan banyak guru menumpuk di ibukota-ibukota kabupaten.
Masalah mahasiswa pasca pendidikaannya lainnya yakni yang ketiga, banyak mahasiswa (sarjana) yang tidak bekerja pada bidangnya. Seorang sarjana dari FMIPA akhirnya mengajar, mahasiswa fakultas pertanian berprofesi menjadi wartawan, dan lain sebagainya. Hal ini akibat dari kurangnya ketrampilan dalam memasuki dunia kerja yang dapat disebabkan oleh disorientasi tujuan pendidikan, kesalahan menetapkan kebutuhan bursa kerja dengan program studi yang dibangun, rendahnya kualitas pengajar dan sistem pengajaran, dan lain sebagainya.
Dari keseluruhan tipe permasalahan yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa mahasiswa masih berorientaasi pada apa yang telah ada, bukan pada mempelopori ketiadaan sehingga intelektualitas, wawasan keilmuan, kritisme dan inovatisme yang selama ini dimiliki tidak dapat dikembangkan. Dan jika dinilai secara menyeluruh, kebanyakan pilihan tersebut mengarah pada titik perkotaan.sebab daerah-daerah tidak memiliki kriteria seperti yang sebutkan. Ternyata benar seperti yang dinyatakan oleh Ayi Fahmi3 banyak mahasiswa yang sebagian besarnya berasal dari daerah enggan untuk kembali ke daerah asal meskipun dengan alasan yang mungkin cukup jelas seperti kebutuhan, penghargaan, akses fasilitas dan layanan, akses pengembangan diri, mencari pengalaman hingga hanya pada alasan sudah enjoy.
Disisi lain masyarakat tidak beruntung di negeri ini bak melihat sebuah pemandangan indah di kristal dan berada pada kotak zamrud, yang dengannya setiap hari mereka menatap kehijauannya yang kian kering, menghirup udaranya yang kian sesak dan mencium bau tanahnya yang semakin gersang. Kekayaan yang mereka miliki harus mereka bayar untuk menikmatinya dan pada saatnya mereka menunggu sampahnya jika orang yang memegang kekayaan tersebut mengembalikan padanya. Namun, masih ada yang tertawa girang kala mereka bekerja pada barang yang mereka miliki sendiri lalu mendapat bayaran tak seberapa.
Ada banyak potensi daerah yang tidak terkembangkan dengan optimal karena kurangnya pengetahuan masyarakat. Kekayaan yang seharusnya dapat dimanfaatkan bagi masyarakat dengan seluas-luasnya justru menjadi sumber daya tidur. Saking besarnya potensi kekayaan itu hingga negeri ini dijuluki sebagai zamrud kkhatulistiwa. Sebut saja satu pulau atau daerah yang ada di negara kepulauan ini, maka kita akan menemukan berbagai karakteristik potensi daerah tersebut meski ia jauh di hujung perbatasan.
Sudah saatnya kekayaan ini kita miliki seutuhnya dan kelola sendiri. Tidaklah kali ini kita membahas tentang penjajahan ekonomi asing terhadap hak bangsa ini lalu menuntut privatisasi tetapi berkaitan dengan banyaknya kekayaan yang telah dicuri. Permasalahan tersebut terlalu besar dan jauh dari jangkauan (saya pribadi) Maka yang lebih utama ialah kita harus memanfaatkan sumber daya tidur yang belum dikembangkan oleh anak daerah sendiri. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan yang saya rekomendasikan mengapa anak daerah (khususnya mahasiswa) harus mengembangkan sendiri daerahnya.
Disinilah tugas mahasiswa tersebut. Kalau tidak kembali ke daerah? Maka siapa lagi yang akan membangun daerah. Ketahanan nasional akan tangguh jika daerah-daerah sebagai basis juga kokoh dan apakah sumbangan terbaik bagi pembangunan bangsa ini? Itulah keberhasilan pembangunan daerah.
Jika diibaratkan mahasiswa dalam pembuatan minyak dari santan kelapa maka mahasiswa itulah minyaknya dari jutaan pemuda Indonesia, layaknya minyak dari air dan tahi lala dari keseluruhan jika dipisahkan. Ia entitas pembangunan, perubah, pembangun, kunci penggerak, pioner alternative, kantong pembinaan, penerus dan akhirnya sebagai pewaris (pengganti).
Maka jika ingin merubah suatu bangsa, gerakkanlah kunci utamanya dan segala hal akan dapat dilakukan. Dan kita telah membaca sejarah bahkan menjadi saksi bahwa pemuda (mahasiswa) telah menjadi pelopor dan motor perubahan bagi bangsa ini. Berbagai kebangkitan di belahan duniapun telah dicatatnya, reformasi bahkan revolusi.
Mahasiswa daerah jika kembali ke daerahnya adalah yang paling tepat sebab ia selama ini dekat dengan lingkungan alam maupun sosialnya, hingga tentu ia dapat lebih memahami apa saja potensi dan kondisi khusus daerah tersebut, juga pemahaman akan cara, tingkatan dan kemampuan pikir masyarakatnya.
Mengembangkan daerah sendiri tidak berarti kita harus kembali ke kampung halaman dan menetap disana, tapi lebih luas dari pengertian itu. Yakni kita menerapkan ilmu pada daerah yang sesuai dengan kontribusi keilmuan yang dimiliki. Misalnya saja seorang sarjana kelautan yang berasal dari daerah Jambi tidak mesti kembali ke Jambi jika Jambi sendiri tidak memiliki wilayah kelautan yang strategis dan urgen untuk dikembangkan. Daerah Riau Kepulauan lebih sesuai dengan kompetensi yang ia miliki dalam hal ini.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk berkontribusi di daerah, apapun latar belakang pendidikannya. Mahasiswa dengan latar belakang ilmu pendidikan dan keguruan jelas sangat dibutuhkan di daerah-daerah karena sekolah-sekolah yang ada biasanya hanya memiliki beberapa orang guru yang tidak memadai dengan perbandingan siswa, mahasiswa dari ilmu pertanian juga jelas sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena struktur masyarakat daerah Indonesia yang masih dominan oleh pertanian. Begitu pula dengan mahasiswa dari ilmu sosial politik yang tidak melulu harus di kota dalam bingkai kajian urbanisasi masyarakat perkotaan atau kepemimpinan politik praktis namun juga bisa ke daerah untuk memberi penyadaran akan politik dan manajemen aparat kantor desa misalnya, seorang dari teknik bisa membantu bagaimana membangun penyaluran air ke rumah-rumah, atau jika tidak mampu dalam pembangunan langsung tersebut. Mahasiswa yang telah membaca kebutuhan masyarakat dan peluang pengembangannya dapat hanya sebagai fasilitator komunikasi dengan pemerintah, maupun jaringan-jaringan lain yang dikenal.
Masyarakat daerah bukanlah bodoh sama sekali, tetapi mereka hanya tidak tahu bagaimana memulainya. Maka jika pengetahuan mahasiswa belum dilengkapi oleh pengalaman yang memadai, sesungguhnya masyarakat memiliki hal tersebut. Masyarakat daerah perlu orang yang dapat menggerakkan kemampuan-kemampuan mereka, diberdayakan, didampingi hingga suatu saat mereka akan mandiri.
Di daerah juga banyak peluang usaha yang dapat kita bangun, tidak hanya mengolah hasil daerah yang kemudian membantu ekonomi daerah, tetapi juga kita bisa membuka berbagai usaha kebutuhan-kebutuhan daerah semisal pemasok atau agen yang sebelumnya telah didapat melaui banyak link saat menempuh pendidikan dahulu. Maka tidak akan sama kepuasan yang akan diperoleh ketika berhasil membangun dan memberdayakan daerah meski orang-orang yang sama dulu, kini di perkotaan mendapat gaji dan fasilitas maupun kedudukan tinggi.
Siapa lagi yang akan mencintai daerah, kalau bukan putera daerah sendiri. Siapa lagi yang akan membangun daerah, jika bukan putra daerah sendiri. Dengan kebersihan niat, tingginya semangat, sungguh-sungguhnya tekad dan gigihnya usaha dengan kesamaan tujuan dan gerakan menyeluruh maka pemerataan kesejahtaraan hidup masyarakat dan pembangunan daerah adalah milik Indonesia.
Keterangan:
1. www.kusmayantokadiman.kompasiana.com/../brain-drain–jangan-terkecoh. 3 Augustus 2009 -. Diakses Pkl 11:56 am
2. Hari Primadi. Nasionalisme Ekspatriat Melayu. Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Komisariat Kuala Lumpur
3. Almasdi Syahza. Seorang professor bidang Ekonomi Pembangunan di Universitas Riau, bergiat di Lembaga Penelitian Universitas Riau dan Tim Akreditas Riau. Data penulis dapatkan melalui wawancara pada 29 Agustus 2009
*penulis adalah mahasiswa Univ. Riau
-essay ini ditulis untuk memenuhi persyaratan MITI-Award tahap II dan berhasil menajdi essay terbaik wilayah Sumatera-
Comments :
0 comments to “Kembali ke Daerah, Membuka aneka Peluang”
Post a Comment