miti bar

Monday, May 03, 2010

Konsep Manusia Ekonomi: Perspektif Konvensional vs Syariah

(Kali ini penulis akan membandingkan sudut pandang psikologis-konsep manusia ekononomi, menurut ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami, berdasarkan buku The Future of Economics: An Islamic Perspective oleh Umer Chapra)

Ketika wahyu dianggap tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan “benar vs salah”; “disukai vs tak disukai”; “adil vs tidak adil”; maka sebagai konsekuensinya (ekonomi konvensional) keudian HARUS mencari cara-cara lain untuk menentukannya (sebagai alternative-nya). Pendekatan “utilitarianisme hedonis ” adalah salah satu yang dianjurkan sebagai alternative tersebut. Ketika alternative ini dipakai, maka kemudian benar dan salah akan ditentukan atas dasar penghitungan kriteria “kesenangan” (sebagai kebenaran) dan “kesusahan” (sebagai kesalahan). Pendekatan ini akan membuka jalan pada pengenalan filsafat –filsafat, yakni sosial Darwinisme, Materialisme dan Determinisme. Pertanyannya, adakah yang salah dengan hal ini? *

Filsafat sosial Darwinisme adalah kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip kelangsungan hidup bagi yang lebih baik dan seleksi alam Darwinisme kepada tatanan masyarakat. Penerapan filsafat tersebut “dengan kurang hati-hati” sebenarnya akan membawa kecenderungan pada pen-sah-an konsep “kekuatan adalah kebenaran” secara terselubung dalam tatanan hubungan kemanusiaan. Sehingga hal ini membawa implikasi bahwa kaum miskin dan tertindas adalah pihak yang salah dan patut disalahkan, karena kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa diri mereka sendiri (adalah karena mereka kesalahan sendiri sehingga tidak punya daya saing oleh karenaya patut dengan sendirinya untuk terkalahkan dalam seleksi alam). Lebih jauh lagi, kaum miskin seharusnya tidak dibantu, karena jika dibantu, hal ini adalah tindakan melawan mekanisme seleksi alam Darwinisme itu sendiri dan memperlambat proses evolusi socsal masyarakat. Konsep inilah yang kemudian membuat kaum kaya dan penguasa lebih bisa “menenangkan” suara hati nurani mereka dan merasa “tidak bersalah” dari tanggung jawab sosial dan moral untuk menghilangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam sistem yang ada. Singkatnya, biarkan saja kaum miskin tambah miskin dan makin tertinggal, atau bahkan mati sekalipun; dan sama sekali jangan dibantu; karena seperti inilah alam ini bekerja, yakni mempertahanan hidup bagi mereka yang lebih kuat atau terkuat saja (dalam asumsi Darwinisme mereka). KAPITALISME *

Filsafat Materialisme cenderung untuk meningkatkan kekayaan, kesenangan dan semua kenikmatan fisik (lahiriah) sebagai tujuan dari usaha manusia. Hal inilah yang menjadi dasar budaya konsumerisme pada zaman ini, yang cenderung selalu meningkatkan cara konsumsi masyarakat dan menggandakan tingkat “kerakusan” masyarakat untuk mengkonsumsi di atas kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dengan merujuk kepada etos budaya di atas, proporsi ilmu ekonomi konvensional yang tidak controversial adalah bahwa jumlah besar yang beraneka ragam tentu lebih baik daripada kekurangan, dan hal ini akan meningkatkan produksi, memperbanyak harta kekayaan, dan meningkatkankonsumsi barang-barang kebutuhan pokok. Menjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila masyarakat harus mengorbankan tujuan-tujuan materi mereka demi mengurangi biaya-biaya non-ekonomi (seperti kegiatan amal sosial, pelestarian lingkungan, dsb) demi produksi dan konsumsi yang lebih besar dan selanjutnya me-realisasi-kan keadilan dan keharmonisan social dan masyarakat. EKSPLOITASI *

Filsafat Determinisme membawa implikasi bahwa manusia memiliki kontrol yang lemah terhadap pola tingkah laku mereka. Malahan, tindakan-tindakan yang dilakukan manusia dianggap sebagai mekanis dan respon atas otomatis terhadap rangsangan eksternal sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan hewan (Watson dan Skinner), mental bawah sadar manusia menunjukkan jauh di atas kontrol individu secara sadar (Freud) atau konflik social ekonomi (Marx). Jadi, filsafat determinisme tidak hanaya meniadakan perbedaan dan keruwetan dalam diri manusia saja, tetapi sedikit membawa kepada filsafat social Darwinisme guna “menolak” tanggung jawab moral dalam tingkah laku manusia. Saat mana suasana yang dikontrol oleh kebiasaan-kebiasaan setiap setiap individu jauh di atas kemampuan kontrol mereka, maka orang-orang kaya dan penguasa tak dapat dipersalahkan atas “hal-hal” yang menimpa kaum miskin dan orang-orang yang tertindas. INDIVIDUALIS *
 
Terlihat bahwa semua pendekatan “yang dianggap (oleh pendukungnya sebagai) ilmiah dan rasional” di atas sama sekali menurunkan moral dan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan sangat kontras dengan pandangan hidup yang religious, yang menganggap bahwa manusia bertanggungjawab pada setiap tindakan mereka dan selanjutnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Dan, sifat dari ekonomi Islami itu sendiri yang bertujuan pada perlindungan pada al maqasidus syariah.*

Dalam bahasa penulis sendiri, maka Ekonomi konvensional secara dasar filsafatnya, tampak sekali begitu mengutamakan kehidupan yang sangat “individualis”. Pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentigan masyarakat yang lebih besar adalah sebuah kesalahan mutlak, karena bertentangan dengan seleksi alam Darwinisme maupun dua filsafat yang berikutnya di atas. Sebaliknya, ekonomi Islami, dibentuk atas dasar wahyu dan religious. Manusia dengan pemahaman ekonomi Islami akan seimbang dalam memenuhi kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Dalam ekonomi Islami, persaingan dalam kebaikan begitu didukung, karena dengan demikian akan terjadi perbaikan yang berkesinambungan dalam masyarakat. Namun demikian, pengorbanan juga bernilai positif, karena dalam setiap harta yang dimiliki ada hak orang lain yang harus ditunaikan.

Meskipun persaingan, yang juga diperbolehkan dalam ekonomi Islami, ada di ekonomi konvensional. Namun nilai pengorbanan yang menjadi tujuan kemanusiaan, yang juga ada dan menjadi sebuah nilai kebaikan dalam ekonomi Islami, sama sekali tidak ada bahkan tidak menjadi tujuan bagi ekonomi konvensional. Di sinilah letak kelebihan ekonmi Islami dari sisi keseimbangan antara individu dan sosial.

Pemahaman ini, jika kemudian dilanjutkan pada perbandingan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam, terkait bagaimana pandangan keduanya terhadap konsep manusia ekonomi: rational-according to conventional economics vs Islamic rational, dengan mengutip penjelasan dari ibu Sri Mulyani pada Diskusi Buku the Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia masa Depan oleh KEI FSI, SM FEUI dan senat Mahasiswa SEBI, di Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001, adalah sbb:

“Di situ disebutkan kegagalan pasar disebakan asimetric information yang disebabkan moral Hazard. Sebenarnya, bila orang Islam menjalankan Islam dengan sesungguhnya pasti tidak akan terjadi asimetric information dan moral hazard karena orang Islam selalu mengatakan ;’walaupun kamu ada di kutub dunia atau di dalam kamar sendiri, kamu tidak bisa melakukan moral hazard karena ada yang mengawasi. Karena ada informasi yang lengkap , info lengkap itu dari Tuhan. Jadi ada self built in mechanism di dalam mental yang menyatakan: saya sebetulnya bisa menipu tapi saya tidak akan menipu. Padahal kalau di dalam ilmu ekonomi konvensional seseorang kalau diberi opportunity untuk menipu, di “pasti” menipu. Itu yang disebut rational behavior according to conventional economics, ini telah jelas.”
 
Kesimpulan dari penulis atas tulisan di atas adalah sebagai berikut:
 
1. Konsep “benar dan salah” dalam peniliaian manusia-ekonomi pada manusia ekonomi Islami adalah didasarkan pada wahyu (Qur’an dan hadist; yang mana berorientasi pada perlindungan maqqasidus as syriah yang menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan probadi dengan kepentingan masyarakat). Sebaliknya, konsep benar dan salah pada manusia-ekonomi konvensional adalah filsafat hedonism, di mana benar dan salah direduksi pada penilaian menurut Darwinisme social (kebenaran=kekuatan, kekayaan, kekuasaan; dan kesalahan=kemiskinan, ketertindasan; di mana menurut filsafat ini “tidak boleh” bagi yang kaya untuk membantu yang miskin karena itu bertentangan dengan seleksi alam dan evolusi masyarakat); menurut Materialisme (kebenaran=ekspoitasi sumber daya alam guna mencapai kenikmatan fisik yang maksimal; kesalahan=aktivitas social non ekonomi, dan aktivitas yang tidak berdampak langsung pada “keuntungan mterial’ mislakan pelestarian lingkungan; yang mana ini kemudian membawa pada eksploitasi alam) serta Determinisme (mirip social Darwinisme yang menolak tanggung jawab moral dan tingkah laku manusia).
 
2. Ekonomi konvesional, melalui doktrin, manusia rational-nya menafikkan nilai moral dan kebaikan dalam diri manusia. Dalam pandangannya, manusia adalah pribadi yang individualis dan begitu mengutamakan self interest. Malakukan segala macam cara, walau harus menipu sekalipun, guna mencapai tujuannya. Sehingga bangunan Corporate Governance yang ada dalam sistem ini dibangun dengan penilaian awal bahwa sistem tatakelola yang dibangun harus bisa “menutup” segala akses agar manusia yang menurut mereka semuanya penuh nafsu dan rasional ini kemudian bisa “dikendalikan” dalam sebuah sistem. Mereka tidak mengenal istilah pendekatan moral untuk mengatur behavior manusia. Sebaliknya, dalam ekonomi Islami, sistem ini memandang bahwa manusia , selain meiliki potensi kejelekan, juga memiliki potensi kebaikan,. Sehingga tatakelola yag dibangun dengan dasar ini kemudian akan membuat sebuah sistem yang juga “menutup” akses bagi potensi jahat untuk bisa keluar. Namun, di sisi lain, ekonomi islami yang relijius ini tidak menafikkan untuk melakukan pendekatan moral untuk mengatur perilaku manusia karena pada dasarnya mereka juga memiliki potensi positif. (Dan menurut penulis, inilah yang lebih ideal, sebab jika menutup mata pada pendekatan moral, bahkan dalam ekonomi yang dibangun atas dasar konvesional pun, para ekonom konvensional kemudian menghadapi sebuah masalah, sebagai contoh adalah apa yang tertulis dalam buku Kieso: Intermediate Accounting; sesorang (akuntan) bahkan, bisa melakukan untuk kegiatan yang “melanggar hukum (misalkan korupsi atau pencucian uang)” namun laporan keuangan yang dibuat masih “memenuhi” aturan standard akuntansi.)
 
Penulis adalah Ardiansyah Selo Y.
(Undergraduate Student-Accounting Department
Faculty of Economy University of Indonesia)

Referensi:
- The Future of Economics: An Islamic Perspective, Umer Chapra *
- Hasil Diskusi Buku: The Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia Masa Depan oleh KEI FSI, SM – FEUI adan Senat Mahasiswa SEBI, Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001
- Intermediate Accounting, Donald e. Kieso et all. Eleventh Edition.
- Pemahaman atas Materi dari Mata Kuliah Corporate Governance

Comments :

0 comments to “Konsep Manusia Ekonomi: Perspektif Konvensional vs Syariah”


Post a Comment

Related Posts with Thumbnails