Oleh: Ellita Permata Widjayanti, SS
(Sekjend MITI-Mahasiswa 2009)
Mahasiswa. Ia adalah sebuah signified (penanda) yang mengacu pada signifier (petanda) kelas menengah yang intelek, idealis, energik, dan potensial. Mahasiswa merupakan lambang kekuatan pemuda yang bergerak dan menggerakkan, karena berbagai potensi yang ia miliki. Itulah kenapa gerakan mahasiswa yang selalu mendapat sorotan, bukan gerakan manula atau gerakan anak-anak. Mereka memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan berada pada usia yang cukup untuk membuat sebuah perubahan.
Dari mahasiswalah ide-ide cemerlang membangun sebuah peradaban bangsa lahir. Dari merekalah sebuah rezim dapat diruntuhkan. Dari mereka pulalah kontrol sosial itu terus berjalan. Mereka begitu luar biasa memperjuangkan hak-hak sebuah bangsa yang dikebiri oleh penguasa. Mereka mampu melakukan dekonstruksi atas hegemoni kekuasaan. Peran sebagai agen perubah (agent of change) mampu mereka emban sejak zaman penjajahan hingga saat ini. Pasca reformasi mahasiswa kembali ke kampus sembari terus mengawal pelaksanaan rekonstruksi bangsa. Mahasiswa dengan demikian merupakan sistem tanda yang menyimpan kekuatan luar biasa.
Terlepas dari dahsyatnya kekuatan mahasiswa dan berbagai sejarah perubahan yang telah dicatat olehnya, kita perlu melihat sisi gelap yang cukup memprihatinkan. Sebuah potret nyata yang perlu kita perhatikan di sini adalah banyaknya angka pengangguran intelektual. Dari data Dikti pada bulan Agustus 2008, tercatat sebanyak 961.000 sarjana dan diploma yang menganggur. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat mahasiswa adalah aset penting dalam pembangunan di berbagai macam sektor. Poin lain yang cukup memprihatinkan juga adalah daya saing bagsa kita yang sangat rendah. Berdasarkan data HELTS 2003-2010, daya saing Indonesia berada di poin 13,3 (dari poin maksimal 100) dan ada pada peringkat ke 28 dari 30 negara. Kontribusi sains, teknologi dan SDM terhadap dunia usaha di negara kita ada pada poin 9,6 (dari poin maksimal 100) dan ada pada peringkat ke 30 dari 30 negara.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tercatatnya angka-angka itu untuk negara kita. Salah satunya adalah kualitas SDM. SDM terdidik adalah para mahasiswa yang pasca kampus memiliki tanggung jawab untuk memenuhi sektor-sektor kehidupan di masyarakat. Dari fenomena di atas kita kemudian dapat menilik sejenak tentang gerakan mahasiswa. Selama ini gerakan mahasiswa cenderung berorientasi pada kontrol moral dan agen perubahan an sich, tapi ada satu yang terlupakan, yaitu orientasi peran sebagai iron stock (cadangan keras). Masa kuliah adalah masa mahasiswa belajar mendalami ilmunya dan juga belajar sebagai calon-calon pemimpin lewat organisasi-organisasi kampus. Masa di kampus hanya sebuah fase singkat, karena fase yang sesungguhnya adalah fase pasca kampus, yaitu ketika lulusan kampus berhadapan dengan dunia nyata; berinteraksi dengan masyarakat sosial, berhadapan dengan realita. Ketidaksiapan menghadapi dunia pasca kampus dapat menyebabkan kegagapan dalam manajemen diri dan manajemen sosial.
Kampus adalah dunia intelektual yang seharusnya sangat melekat juga pada para aktivis mahasiswa. Di kampus mereka dicetak sebagai calon ilmuwan, calon pendidik, calon teknolog. Melalui organisasi ekstra dan intra kampus mereka dididik sebagai calon pemimpin masa depan dan sebagai pengontrol moral. Jika kedua hal ini dipadukan, terciptalah lulusan yang unggul; ia kompeten dalam bidang keilmuannya dan siap memenuhi sektor-sektor kehidupan yang menantinya, dengan kualitas kepemimpinan yang tinggi dan sikap moral yang luhur.
Paradigm Shifts
Bicara tentang perubahan paradigma, tentu kita tidak bisa melupakan Thomas Khun sebagai tokoh yang banyak menulis tentang “paradigm”. Dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution”, Khun menitikberatkan pada istilah scientific revolution (revolusi ilmu pengetahuan) yang kemudian dimaknai sebagai paradigm shifts (perubahan paradigma). Dengan kata lain revolusi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah pergantian paradigma, perubahan pola pikir, cara memandang, cara mendefinisikan suatu gejala atau suatu persoalan.
Revolusi ilmu pengetahuan dalam ilmu sosial budaya terjadi ketika muncul paradigma baru yg mengungkap aspek2 tertentu dari gejala sosial budaya yang selama ini terabaikan. Artinya, paradigma baru adalah pengembangan dari paradigma lama, sehingga paradigma baru bersifat melengkapi paradigma lama. Hal ini memungkinkan manusia untuk memeroleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai gejala sosial tertentu.
Dari fenomena memprihatinkan yang ditulis di atas, kita dapat melihat bahwa tuntutan terhadap mahasiswa dan lulusan mahasiswa semakin besar. Dari hal ini kita perlu menyadari memang harus ada perubahan paradigma yang mendasar dari gerakan mahasiswa. Paradigma lama yang hanya mengembangkan satu atau dua peran perlu dilengkapi, dikembangkan, sehingga peran mahasiswa lebih optimal. Tiga fungsi mahasiswa sebagai moral controller, agent of change dan iron stock harus dioptimalkan agar peran-peran itu tidak timpang di satu sisi dan mengabaikan sisi yang lain. Mahasiswa harus menyadari bahwa kekuatan daya saing bangsa di dunia (yang membuatnya bermartabat) juga ada pada mahasiswa, yang menyandang peran sebagai kaum intelektual yang mampu membuat perubahan dengan kompetensi keilmuan yang ia miliki. Gerakan mahasiswa tidak boleh terjebak dalam euphoria menggulingkan kekuasaan sebuah rezim. Sekali lagi, mahasiswa harus mengingat bahwa ia memiliki tanggung jawab besar sebagai pengontrol sosial/moral, agen perubah, dan juga cadangan keras.
Cadangan keras yang merupakan keluaran kampus haruslah cadangan yang berkualitas. Jangan sampai ada mahasiswa yang “jagoan” menjadi agen perubah, tidak pernah absen dari jadwal-jadwal demonstrasi, pandai berorasi, namun tergagap-gagap ketika bicara tentang spesialisasi ilmu yang ia pelajari di kampus. Ada perubahan yang kita teriakkan, ada ide-ide cemerlang yang kita tawarkan kepada bangsa ini, namun kita tidak boleh lupa bahwa kita tetap bertanggung jawab pada apa yang kita teriakkan di jalan-jalan. Artinya, pada fase pasca kampus kita harus menjadi bagian dari tawaran-tawaran perubahan yang kita teriakkan.
Paradigma gerakan mahasiswa sebagai pelopor perubahan sosial perlu ditata kembali. Menjadi agen perubah dan kontrol sosial tidak semata-mata dengan unjuk rasa terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populis. Gerakan mahasiswa tidak hanya sekedar “berteriak” di jalan, tapi juga berperan sebagai gerakan yang solutif. Gerakan mahasiswa merupakan gerakan kontrol sosial yang berbasis intelektual. Kata intelektual di sini mengacu pada kemampuan untuk berfikir strategis secara ilmiah. “Berteriak” pun pada dasarnya membutuhkan riset atau penelitian mendalam. Ketersediaan data-data yang akurat mengenai sebuah persoalan akan membuat kita mampu melihat lebih luas dan dalam, sehingga kita bisa menawarkan solusi yang memungkinkan untuk dilakukan.
Solusi dari bidang keilmuan yang dikuasai oleh mahasiswa kemudian menjadi sebuah tuntutan. Mahasiswa adalah bagian dari solusi. Ilmu yang ditekuni mahasiswa di kampus bukan ilmu yang digunakan untuk mencari pekerjaan belaka, tapi pada dasarnya adalah ilmu yang digunakan untuk berkontribusi dalam masyarakat. Artinya, bagaimana ilmu yang kita miliki dapat kita kontribusikan untuk meningkatkan kualitas bangsa kita. Oleh karena itu kompetensi dalam bidang keilmuan menjadi sangat penting untuk kemajuan bangsa.
Saat ini sudah bukan zamannya lagi para organisatoris/aktivis lulus lama, IPK di bawah rata-rata, atau juga bukan saatnya lagi mahasiswa hanya sekedar lulus cepat dan IPK tinggi tanpa soft skill yang memadai. Bangsa membutuhkan lulusan-lulusan yang kompeten di bidang keilmuannya dan siap berkontribusi dalam masyarakat. Bangsa membutuhkan ahli tata kota yang dapat menciptakan ruang-ruang ideal untuk sebuah kehidupan. Bangsa membutuhkan ahli lingkungan yang membebaskan mereka dari persoalan polusi, sampah, dsb. Bangsa membutuhkan para ilmuwan sastra yang memberikan kontrol terhadap bacaan masyarakat. Bangsa membutuhkan birokrat yang peka terhadap kebutuhan masyarakat. Bangsa membutuhkan ekonom-ekonom yang dengan keahliannya dapat membuat formula-formula untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan yang semakin menghimpit. Bangsa membutuhkan para ahli hukum yang benar-benar berpihak pada kebenaran. Bangsa membutuhkan para teknolog yang menciptakan teknologi-teknologi yang memudahkan berbagai aktivitas tanpa melepaskan sisi-sisi humanisme. Bangsa membutuhkan para ahli fisika, biologi, kimia, dsb untuk memberikan berbagai kontribusinya. Bangsa membutuhkan ahli-ahli pertanian yang mengembalikan kejayaan bangsa sebagai negara agraris. Bangsa membutuhkan para ahli di bidangnya untuk kehidupan yang sejahtera. Bangsa membutuhkan kita untuk masa depan yang lebih baik, untuk kehidupan sebagai bangsa yang bermartabat di dunia.
Karena kebutuhan-kebutuhan yang sedemikian banyaknya, maka para mahasiswa harus mulai berbenah sejak sekarang. Kegiatan-kegiatan yang bersifat peningkatan kompetensi keilmuan perlu digiatkan. Kegiatan-kegiatan semacam ini justru akan semakin menunjang peran mahasiswa sebagai agen perubah dan pengontrol moral. Teriakan mahasiswa akan semakin berbobot jika ditunjang dengan kompetensi keilmuan dan profesionalisme dalam gerakan.
Kebijakan kampus yang semakin membatasi lamanya waktu kuliah dan biaya kuliah yang semakin mahal seharusnya tidak menjebak mahasiswa pada iklim pragmatis. Kebijakan ini justru dapat dimanfaatkan untuk membuat gerakan mahasiswa berbasis kompetensi keilmuan. Mahasiswa masih dapat terus berorganisasi tanpa harus mengabaikan keilmuan. Ilmu yang didapatkan di bangku kuliah selayaknya semakin mencerdaskan sebuah pergerakan; pergerakan yang mencetak para calon ilmuwan, calon teknolog, calon pendidik, calon entrepreneur, dsb, yang kompeten dalam bidang keilmuannya, memiliki jiwa kepemimpinan tinggi dan berbudi luhur untuk sebuah transformasi menuju bangsa yang madani.
Kemampuan kita untuk melihat lebih luas akan membuat kita semakin bijaksana untuk menyikapi berbagai fenomena yang terjadi di negara kita. Gerakan mahasiswa kini harus mulai membenahi diri agar tidak tenggelam dalam euphoria pilitik, atau bahkan sebaliknya, terjebak dalam aktivitas-aktivitas studi an sich. Gerakan mahasiswa harus membuat formula agar peran-peran yang dibebankan kepada mereka berjalan beriringan dan saling menguatkan tanpa harus ada yang diabaikan. Lalu, kelak kita akan menjumpai mahasiswa-mahasiswa yang tidak apatis terhadap perubahan, aktif di lembaga-lembaga organisasi kampus, kompeten dalam bidang keilmuannya dan memiliki moral yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan YME.
Overall, sepakat dg analisis dan argumentasi Sdri Ellita. Pada kenyatannya, masih ada mahasiswa yg memisahkan 'ranah kerja' mereka dari midle class-yg seharusnya bs menjembatani permasalahan rakyat dengan pemerintah-ke politik an sich.
Sebagian mhs merasa hebat dg beraktivitas politik kampus, namun melupakan jati diri sebagai calon penerus kepemimpinan bangsa. Meski suatu saat bisa menjadi moral force, namun ketika tiba giliran mereka meneruskan, apadaya keahlian kurang.
Pendapat sy ini bukan berarti menyalahkan sepenuhnya atas fakta yg ada. Namun, lebih tepat sebagai pengingat bahwa tugas mhs tak hanya memberikan respon singkat dan 'gertakan' pada permasalahan sekitar. Lebih dari itu, kontribusi nyata bagi masyarakat adalah lebih bijak diperhatikan.
Jangan sampai, rakyat yang selalu di atas namakan mahasiswa, menjadi berbalik menyerang atau sedikitnya apatis dengan gerakan mhs yang ada. Tak lain, ini karena minimnya kontribusi generasi muda.
Just do the best.