miti bar

Friday, February 13, 2009

Talkshow, dan Pameran Produk Pangan Mahasiswa

pangadanmahasiswa

dalam Rangka Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Diversifikasi Pangan dari Mahasiswa untuk Indonesia

Indonesia mempunyai jumlah penduduk keempat terbesar di dunia. Kondisi ini memunculkan konsekuensi tersendiri yaitu ketersediaan pangan. Namun, sejak dulu hingga saat ini, masalah pangan ini tak kunjung bisa terselesaikan.

Sebenarnya Indonesia sudah dua kali mencapai swa sembada beras, yaitu pada era orde baru dan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Ketika jaman Soeharto, berkat swa sembada beras tersebut, yaitu pada tahun 1984 Indonesia sempat mendapatkan penghargaan dari FAO. Bahkan saat itu, Indonesia disebut-sebut sebagai Macan Asia Baru. Namun rupanya keberhasilan ini tidak bertahan lama.

Pemerintah selalu berorientasi pada beras, sehingga yang dicapai adalah swasembada beras, bukan swasembada pangan. Hal ini tidak terlepas dari pilihan kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengatasi persoalan pangan yaitu konsep ketahanan pangan. Konsep inilah yang membuat ketergantungan pangan Indonesia pada asing.

Konsep ketahanan pangan sangat berbeda dengan konsep kedaulatan pangan. Menurut Hines, kedaulatan pangan adalah hak tiap orang, masyarakat, dan Negara untuk mengakses, mengontrol aneka sumberdaya produktif serta menentukan dan mengendalikan system (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri sesuai dengan kondisi ekologis, social, ekonomi, dan budaya khas masing-masing.

Berdasarkan konsep kedaulatan pangan dari Hines, maka untuk dapat mencapai kedaulatan pangan salah satu cara yang dipakai adalah dengan mengoptimalkan sumberdaya local, yaitu diversivikasi pangan. Dengan adanya diversifikasi pangan, maka kita tidak akan lagi tergantung pada beras. Selain itu, diversifikasi pangan merupakan salah satu cara untuk perbaikan gizi masyarakat. Sebab, semakin beragam jenis makanan yang dikonsumsi, kualitas pangan akan semakin baik. Sehingga Indonesia bisa mencapai kemandirian pangan.

Sampai saat ini diversifikasi pangan masih terasa hanya sebagai wacana saja. Pemerintah tetap menjadikan beras sebagai prioritas dalam menangani masalah pangan. Padahal Indonesia dengan kondisinya yang majemuk, punya beranekaragam pangan pula. Sebutlah sagu, jagung, ubi jalar. Oleh sebab itulah perlu diadakan kajian yang mendalam tentang feasibilitas dalam mewujudkan diversifikasi pangan, yaitu mencakup telaah tentang orientasi kebijakan pangan pemerintah beserta political will pemerintah, budaya masyarakat terhadap beras (mentality rice), kandungan gizi dari bahan pangan lain pengganti beras, serta berbagai hambatan dalam penerapan diversifikasi. Seminar ini dilaksanakan dalam rangka mengkaji tentang berbagai aspek tersebut.

Selain itu juga merupakan wujud konstribusi mahasiswa terhadap permasalahan bangsa Indonesia khususnya dalam hal pangan. Konstribusi mahasiswa antara lain dengan mengadakan diskusi interdisipliner dengan tujuan memberi wacana yang selanjutnya diwujudkan dalam Call For Paper yang merupakan ajang untuk menyalurkan ide yang akhirnya sampai pada pameran pangan yang merupakan wujud nyata diversifikasi pangan dan seminar nasional yang akan menguatkan wacana tentang pentingnya diversifikasi pangan. Pangan merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini dan membutuhkan solusi yang jitu agar krisis pangan tidak terjadi. Dampak dari pemanasan global yang telah dirasakan saat ini adalah perubahan iklim. Padi merupakan tanaman musiman. Jika kondisi iklim tak menentu, panen padi akan gagal. Jadi dibutuhkan solusi seperti diversifikasi pangan. [ ]

sumber: http://www.gc.ukm.ugm.ac.id/

Comments :

1

Eksa UNS Solo: Saya sepakat dengan wacana di atas. Bahkan dalam berbagai event lomba seperti karya tulis dll pengembangan pangan lokal maupun diversifikasi pangan selalu menjadi topik yang dilombakan. Sayangnya....... bakda lomba dan ketemu juaranya implementasinya di lapangan sama saja.Masih sebatas ide. Akankah ide dan pemikiran kita juga seperti itu. SemogA output dari acara di UGM tersebut nyata implementasinya. Oiya, mumpung dekat dengan event 17an.Kan sering tuh ada lomba khas 17 an: Yaitu MAKAN KERUPUK. Saya jadi punya usul nih. Lomba makan kerupuk diganti dengan makan pangan lokal. Misal kalau di Jogja seperti LOMBA MAKAN GROWOL, Tiwul, Gaplek dll (Kapan lagi adik-adik kita mau maka makanan tersebut. Ini pemaksaan sekaligus pengenalan dengan metode 17an. Mari berkontribusi lebih nyata. Apa yang lahir dari pikiran kita juga hasil dari apa yang kita makan kan. Mana nih kontribusi teman-teman ITP/ THP??

eksa said...
on 

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails